Kepulauan Kei, Mutiara Keindahan di Tenggara Maluku

Roda pesawat berdecit. Baling-baling nyaring di kuping. Ah, sampai juga.

Setelah 3 jam perjalanan udara di Jakarta menuju Ambon dan 1 jam transit dari Ambon ke Tual, Pulau Kei Kecil, akhirnya aku bertemu laut di belahan timur Indonesia. Ini kali pertama, aku menginjak tanah timur yang katanya memiliki kadar garam laut yang luar biasa tinggi. Ya, karena jarang terjamah tangan manusia.

Benar kata Bapak Dosen yang sempat berkenalan denganku saat transit di Ambon. Tual itu indah. Pasirnya putih, tapi negerinya panas. Kupikir Tual itu tak bertuan, tetapi ternyata dari bapak dosen di Universitas Hasanuddin ini, aku tahu bahwa banyak marga di Kepulauan Kei. Seperti di Ambon, Kei pun diisi beragam agama yang hidup berdampingan. Ada kampung Islam (ini yang terbesar), ada kampung Kristen, ada kampung Katholik, dan sebagainya.

Bapak Dosen berpesan begini, "Saat kamu pulang ke Jakarta, tulislah yang indah-indah tentang Kei. Kei masih sangat sepi. Baru sedikit orang ke sana. Kei adalah kampung halaman saya."

Sebegitu besar harapan si Bapak Dosen yang baru saja kukenal itu hingga aku tak tega untuk tidak menuliskan perjalanan itu di blog ini. Kei memang sangat indah.

Let's explore!

Di pesawat baling-baling dari Ambon ke Tual.

Mendarat di Bandara Langgur, Tual, Kei Kecil.
Kepulauan Kai atau sering dibaca Kei, berlokasi di sebelah tenggara Maluku. Sebuah sumber yang kubaca tentang geografi Maluku, Kepulauan Kei ini terdapat di dekat Laut Banda dan umumnya terbagi dua, yaitu Kepulauan Kei Besar dan Kepulauan Kei Kecil. Namun, yang sempat aku jelajahi adalah Kepulauan Kei Kecil.

Nama Kai atau Kei sebenarnya nama yang diberikan oleh orang asing jauh sebelum Belanda datang. Penduduk asli menyebut pulau ini Nuhu Evav (Pulau Evav). Nama Kei sendiri ditulis oleh Alfred Wallace di Malay Archipelago dengan Ki, Ke, dan Key. Konon, katanya ada surat yang menuliskan bahwa seorang pemimpin dari Quey meminta para pastur untuk datang ke pulau ini.  Lalu Quey menjadi Kei atau Ki. Mungkin saja, bukan?!

Oke, cukup keterangan tentang asal-usul negeri Kei ini. Mari lanjut ke kisah perjalananku, Junisatya dan beberapa teman lain mengarungi Kepulauan Kei Kecil. Beruntung sekali saat kami ke sana, langit biru dengan gumpalan awan putih menyambut. Cerah.

Dari Bandara Langgur, kami bertolak ke sebuah gua bernuansa agak mistis, Goa Hawang karena sejalur dengan bandara. Goa Hawang menjadi pembuka perjalanan kami di Kei, semacam jamuan pembuka. Bukan pantai, bukan pula bukit. Tapi goa dengan air yang mengalir di dalamnya, sungai bawsah tanah.

'Hawang' dalam istilah lokal sama dengan setan. Jadi gua ini bisa disebut Goa Setan. Tak ada arti apa-apa saat kami ke sana. Dengan jalanan hutan lalu tangga yang melingkar ke bawah, kami menjajaki satu per satu hingga mulut gua yang menganga lebar. Tapi kami tak sendiri, ada banyak warga yang menjadikan Goa Hawang sebagai tempat pemandian. Air yang menggenangi mulut gua sangat jernih dan dingin. Tampaknya segar. Katanya air sungai bawah tanah ini terhubung dengan mata air Evu, mata air warga Kei Kecil. Sayang, kami tak membawa persiapan berenang saat itu. Jetlag perjalanan dari barat ke timur Indonesia masih membayangi kepala kami. Hanya duduk menikmati gemericik air dan relief gua sudah cukup bagi kami. Ada lorong panjang di dalamnya, tapi tak ada seorang pun yang berani berenang jauh ke dalam. Tak ada yang tahu berapa panjang lorong itu dan akan tembus ke mana. Tak apa. Yang kami cari adalah keindahan serta nyanyian air yang membahana di mulut gua.

Goa Hawang
Seperti khas Maluku, Kei penuh nyanyian. Di sela senyum, ada nada yang mengantar. Hati pun bergetar. Begitulah Tual menyambut kami. Usai menikmati musik alam di mulut gua, saatnya kami beralih ke nyanyian laut.

Ngurbloat.

Pantai berpasir paling halus yang pernah kulihat, bahkan mungkin paling halus di Nusantara. Aku tak mengelak, meraba Goa Hawang belum seberapa dibanding mendendang sunyi di Pantai Ngurbloat. Ya, pantai kala itu sangat sepi. Rupanya orang-orang Tual sedang tidak bertamasya. Kami dan hanya ada segelintir orang yang menapaki pasir lembut di Ngurbloat, menanti petang datang.

Ngurbloat artinya pasir yang panjang. Kami ke sana saat air laut sedang surut. Dan terlihatlah bentangan pasir putih teramat lembut sejauh mata memandang. Luas dan panjang. Kami sendiri tak tahu sampai di mana ujung dari pantai ini. Karena sepi, kami puas menari-nari, berlari-lari, dan akhirnya tertawa-tawa di pantai ini, ditemani pisang goreng dibalut embal (singkong yang disangrai, makanan khas orang Tual pengganti nasi). Apalagi yang masih kurang?


Keceriaan kami di pasir putih dan halus.

Mendendang sunyi di Ngurbloat.


Karang di pinggir Ngurbloat.

Ngurbloat sejauh mata memandang.
Omong-omong soal embal, si makanan khas yang sempat kami cicipi, aku punya pengalaman menarik.

Ibu warung : ini namanya embal. Makanan orang sini. Kalian harus coba.
Aku : (ngunyah) ini sagu bu?
Ibu warung : bukan. Itu singkong. Cuma orang Tual yang bisa buat.
Aku : resepnya apa, Bu?
Ibu warung : pengolahannya panjang. Singkong ditumbuk lalu dijemur. Nanti ada proses penyaringan dari kadar racun.
Aku : (menelan ludah) singkong beracun, Bu?
Ibu warung : iya. Ini jenis singkong beracun. Buatnya tidak bisa sembarangan. Hanya orang Tual yang bisa.
Aku : (makin ngeri) Menyebabkan kematian?
Ibu warung : iya kalau prosesnya ada yang kurang. Kami tidak kasih resepnya untuk pengunjung.
Aku : Pernah ada yang jadi korban? (curiga sianida)
Ibu warung : (nada santai) ya. 1 orang mati. Pengunjung yang minta resep dan coba sendiri. Dia tidak makan embal buatan orang Tual.

Percakapan selesai dan aku pun langsung minum air putih sebanyak-banyaknya. Ya, begitulah makanan tradisional dari daerah Tual, Kei Kecil. Berkhasiat, enak, dan telah melewati proses panjang hingga layak dimakan. Jadi pesan moralnya, cukup dinikmati saja, tanpa perlu rewel minta resep. Resep hanya milik si tuan warung makan.

Embal, makanan khas Tual.

Sepotong senja di Ngurbloat. 
Petang di Ngurbloat.


Beginilah kesan sehari berada di Kei. Nyanyian dan laut memang menjadi sonata dari tanah Maluku. Ditemani tekstur kasar makanannya, lengkap sudah hari itu. Jetlag terasa tak berarti apa-apa lagi. Semua terbayar.

Assalamualaikum, Kei.



Komentar

  1. ini trip yang tiap lu update di path langsung gw frowned itu kan ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahahah. yang kamu lakukan kepada saya itu...JAHAT! :)

      Hapus
  2. Indah banget ya ciptaaan Tuhan YME. Salam

    BalasHapus
  3. Num, ke Sana lagi truss ajak gue sm Nura hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yuk ke Kei. Gue juga mau kalau ke sana lagi. dan toddler friendly kok lokasinya. Harus kuatin dompet :))

      Hapus

Posting Komentar

Popular Posts