Short Gateaway ke Tanjung Lesung

Jadi ceritanya, bulan Desember 2016 bukan waktu yang tepat untuk liburan jauh-jauh ke luar kota. Tapi bukan berarti hasrat jalan-jalan dipendam begitu saja. Aku merancang semacam short gateaway yang tidak terlalu jauh dari Jakarta, dapat ditempuh dengan mobil pribadi, dan family friendly. Maksudnya family friendly ini adalah lokasi yang gampang dijangkau dan pas untuk anak-anak. Kebetulan aku kedatangan adik kami dari daerah yang sedang liburan sekolah. Kenapa  enggak menjadikan liburan mereka menjadi seru ketimbang hanya berjalan-jalan di mall.
Berangkatlah kami dengan mobil bersama adik dan sepupu menuju Tanjung Lesung. Ini wisata yang sangat familiar di wilayah Banten. Beberapa tahun lalu, aku dan Junisatya sempat mampir ke sana tetapi tidak stay karena kami harus melanjutkan perjalanan ke Sawarna. Kali ini, aku ingin kembali ke sana untuk berlibur. Niatnya kami akan stay 1 malam di homestay yang tak jauh dari Tanjung Lesung.

Tanjung Lesung Beach Club

Gerbang Tanjung Lesung
Untuk menghindari macet, kami berangkat pagi-pagi sekali dari Depok. Waktu tempuh kami habiskan 5 jam perjalanan melewati Pandeglang. Begitu sudah mencium bau laut, aku langsung bersemangat. Rinduku pada pantai terobati. Namun, semangat itu sirna saat melihat pesisir Labuhan (nama daerah sebelum Tanjung Lesung) berwarna cokelat. Aku tak mengada-ada dan sempat memastikan berkali-kali bahwa air laut di sepanjang pantai itu sangat cokelat. Angin sedang kencang dan laut pasang. Air laut di sepanjang lepas pantai, mungkin bermil-mil jauhnya ke tengah laut, tidak menunjukkan tanda-tanda berwarna biru atau hijau.
Dengan sedikit meredam kecewa, kami akhirnya sampai di gerbang area Tanjung Lesung yang kini telah jadi area komersil. Kami diberikan kartu parkir dan diizinkan masuk menyusuri jalanan panjang yang sepi hingga tertumbuk pada loket Tanjung Lesung Beach Club. Kami dimintai tiket Rp40.000 dan parkir mobil Rp5.000. What? Mahal sekali ya. Tiket masuk Ancol masih lebih murah lho dengan segala fasilitas yang ada.

Berhubung sudah jauh-jauh dari Jakarta dan memang sudah diniatkan ke sini, yasudah, kami pun membayar uang masuk yang diminta. Ini dia Pantai Tanjung Lesung yang (katanya) bagus itu di wilayah Banten.

Jika dibandingkan dengan pantai-pantai di Anyer, pantai Tanjung Lesung memang lebih unggul. Pantainya hasil kerukan agar airnya tidak cokelat. Area pantai ditimbun dengan pasir yang lebih terang agar pantainya tidak suram. Tempat untuk bersantai pun disediakan. Anehnya, meski mahal, tempat ini ramai. Banyak yang melakukan kegiatan berenang di pantai, kemping di tenda-tenda berbayar, olahraga pantai, dan water sport. Beruntung kami sampai di sana pukul 10.00. Jadi masih bisa dapat ruang untuk duduk-duduk.

Piknik saudara

Kawasan pantai
Bersama sepupu

Area santai beach club
Kami mengeluarkan bekal makanan dari mobil dan piknik bersama di salah satu pondok. Makanan sederhana tapi nikmat. Sebenarnya kami tidak diperkenankan membawa makanan dari luar karena sudah ada 2 restoran yang tersedia di kawasan ini. Namun, peraturan itu sengaja tidak diindahkan. Kalau makan di restoran, pasti mahal lagi dan rasanya biasa aja.

Usai makan siang, aku membiarkan adik-adik kami berenang di pantai yang ada ayunannya seperti di Lombok. Lalu aku berjalan merambah pantai karang di sudut lain kawasan pantai ini. Dulu ada jembatan ke tengah laut yang bisa jadi area foto-foto, apalagi di seberang sana terlihat bukit segitiga yang merupakan salah satu gunung anak Krakatau. Jembatan itu sudah lapuk oleh air garam dan memang kurang dirawat. Agak mengecewakan mengingat tiket masuk ke kawasan ini sangat tinggi tapi lingkungan di sini tak terawat. Jogging track yang merambah hutan mangrove di dekat jembatan sudah rusak parah. Mungkin akibat air pasang berkali-kali yang membuat susunan bata atau beton jadi porak-poranda. Dalam hati terucap, pantai wisata macam apa ini? Sayang sekali jika area ini dibiarkan rusak di beberapa sudut. Kurangnya penanganan pihak swasta terhadap pantai ini akan membuat Tanjung Lesung meredup perlahan. Di samping banyaknya permintaan untuk mengadakan paket outing, outdoor camp, dan water sports. Tanjung Lesung tak sesistimewa namanya padahal pantai ini diharapkan menjadi primadona wisata keluarga wilayah Banten, lho. Sayang sekali ya.

Jembatan yang sudah lapuk

Pantai karang Tanjung Lesung

Sunbathing saat mendung

Panen kerang
Kami harus berpuas hati bersantai sambil sunbathing di bawah matahari yang tidak terlalu terik hari itu. Yang penting 2 bocah yang kubawa tetap gembira bisa berenang seharian. Aku mengumpulkan beberapa kerang bermotif unik untuk dibawa pulang. Selebihnya, tak ada lagi yang bisa dilakukan di sana karena semakin siang, pantai semakin ramai.

Kami berpindah mencari pantai lain di sekitar Tanjung Lesung. Karena tak ada ide menarik, di laman pencarian pun tak menunjukkan tempat-tempat istimewa, kami mampir ke sebuah restoran Kampung Nelayan. Sedikit berharap bisa duduk santai mencicipi seafood. Namun, yang kami temukan adalah dermaga Kampung Nelayan yang kurang terawat dan air laut yang super cokelat. Langit mendung menambah miris pemandangan. Aku tak berminat duduk di restorannya dengan pemandangan seperti ini.

Dermaga nelayan

Restoran dengan view yang kurang menarik


Kami pun berpindah lagi. Mobil kami melaju ke arah pulang. Tak tertarik untuk bermalam karena cuaca sedang tidak bersemangat. Kami mampir di sebuah kedai kopi pinggir pantai berlantai dua dan memesan mie instan rebus. Angin semakin ribut terasa di pantai itu. Tak ada niatan untuk turun ke garis pantai karena pasir pantai penuh limbah berminyak dan air laut tetap tak berubah warna. Dalam hati, aku berdecak. Mungkin ini limbah Pulau Jawa. Mungkin ini salah kami yang tak menjaga alam. Mungkin pula ini efek dari segala macam limbah kehidupan dan bermuara di laut yang mengarah samudera ini.

Melihat lingkungan Tanjung Lesung dan sekitarnya ini, aku membawa pulang renungan. Ada banyak tempat-tempat yang indah tetapi rusak. Tanjung Lesung dan sekitar bisa jadi bahan introspeksi. Jangan cuma liburannya saja yang diperhatikan. Tapi juga bagaimana kita menjaga persahabatan kita dengan alam. Sungguh alam sudah baik memberikan penawaran lokasi eksotis yang bisa dieksplor. Sayangnya, kita lupa telah menjadikan mereka perlahan meredup. Sedih sekali.

Warung kopi dan mie di pinggir jalan daerah Labuhan

Pantai yang super cokelat, pantai cokelat susu

Komentar

  1. saya juga sering mendengar kemasyhuran tanjung lesung, dan pengin sekali2 ke sana.. dari laporan pandangan mata, kok kurang recommended, ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya begitulah keadaannya. Mungkin efek musim hujan kali ya. Tapi kawasan Tanjung Lesung beach Club sih lumayan.

      Hapus

Posting Komentar

Popular Posts