Jalan-Jalan ke Passer Baroe Saat Imlek

Sabtu pagi yang mendung, aku berangkat dari rumah menuju halte busway Bundaran Senayan. Ini meeting point kegiatan Site Visit Busway ke Passer Baroe. Event ini diadakan oleh NGO ITDP, bekerja sama dengan Transjakarta dan Komunitas Jakarta Walking Tour.


Karena bekerja sama dengan PT Transjakarta, kami akan ditraktir jalan-jalan di seputaran Jakarta naik Transjakarta dan Bus City Tour bertingkat. Hore.

Tepat pukul 08.30, Transjakarta yang disediakan khusus untuk kami para peserta walking tour hari itu tiba. Bus Transjakarta yang mengangkut kami ini termasuk edisi vintage series. Apa bedanya dengan Transjakarta yang lain?

Bus Vintage Series ini memuat bangku yang semuanya berbaris menghadap ke depan seperti bus-bus pada umumnya. Interiornya dimeriahkan oleh pamflet iklan zaman dulu serta kliping koran dan majalah edisi bertahun-tahun yang lalu. Terasa epik meskipun AC tetap berhembus tajam, membuat hari yang mendung semakin dingin. Satu lagi yang mencolok perbedaan yaitu klakson bus ini berbunyi telolet. Seru sekali setiap sopir membunyikan klakson, kami semua bersorak kegirangan. Om telolet om.




Sepanjang perjalanan, kami diceritakan banyak hal tentang Transjakarta dan perencanaannya terhadap Jakarta. FYI, koridor Transjakarta adalah koridor bus terpanjang di dunia, yaitu mencapai 208 km dengan 232 halte dan 12 koridor per tahun 2016. Keren, ya. Jangan ragu lagi untuk menggunakan fasilitas transportasi umum di Jakarta karena semua sedang dibenahi satu per satu.

Saat asyik bercerita tentang kemacetan Jakarta, bus kami berhenti sebentar di depan Museum Nasional. Semua peserta diperkenankan untuk memotret bus Transjakarta yang konon hanya tersedia 2 unit vintage series dan hanya ada di koridor 1 ini. Anyway, jepret-jepret sepanjang jalan ini berhadiah lho. Jadi tak heran kalau aku antusias sekali jepret sana-sini.

Bus kemudian berhenti lagi di halte Juanda, persis di seberang Masjid Istiqlal. Dari sinilah kami mulai berjalan. Ya, berjalan. Salah satu tujuan walking tour ini memang mengajak kita menghargai keberadaan trotoar. Mulailah hidup sehat dengan berjalan kaki dan nikmati pemandangan kota, mengetahui sejarahnya, dan mengagumi cerita dari sebuah bangunan.




Kami melintasi halaman samping Masjid Istiqlal dan menyeberang ke arah Kathedral. Aku belum menyadari sebelumnya bahwa di antara Masjid dan Kathedral, ada 2 waktu yang membuktikan fakta bahwa perbedaan itu tak pernah memecah belah kita. Setiap pukul 12 siang dan 6 sore, lonceng gereja berdentang serta diikuti oleh azan zuhur dan magrib. Antara lonceng dan suara azan telah bersahut-sahutan selama bertahun-tahun. Orang yang berada di dalam masjid, dapat mendengar suara lonceng gereja. Begitu juga dengan orang yang berada di dalam gereja, dapat mendengar suara azan. Suatu harmoni yang tak pernah kita sadari seutuhnya.

Saat guide bercerita, hujan pun turun. Kami berteduh di halaman depan sekolah Santa Ursula. Gedung Santa Ursula adalah gedung peninggalan Belanda dan menjadi cagar budaya di Jakarta. Tak heran, jika sekolah ini memiliki jendela yang tinggi-tinggi dengan pilar kokoh sebagai tiang-tiangnya. Di sebelah Santa Ursula terdapat Gedung Filateli Jakarta yang dulu adalah Kantor Pos Indonesia. Gedung ini pun masih asri dan bersejarah sekali. Sayangnya aku tak bisa masuk melihat koleksi perangko dari tahun ke tahun karena hari Sabtu dan bertepatan dengan Imlek.

Kami menyusuri trotoar dan berbelok memutar. Sampailah kami di Gedung Kesenian Jakarta. Kalau ke sini, aku sudah berkali-kali masuk. Bahkan sejak kecil, aku telah akrab dengan tempat ini, berhubung orangtuaku pernah mengadakan pertunjukan dan ikut beberapa event kesenian di sini. Terakhir ke sini adalah saat aku menghadiri teater Bunga Penutup Abad, ulasannya dapat dilihat di sini.





Dari Gedung Kesenian Jakarta, kami tinggal menyeberang ke Passer Baroe dan mampir ke Kantor Berita Antara. Ya, kalau diingat-ingat pelajaran Sejarah, Radio Antara sangat berjasa menyebarkan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Takjub juga kantor berita Antara masih ada sampai sekarang. Bangunannya berwarna putih dan menjadi salah satu peninggalan Belanda. Kantor Antara terletak di pinggir sungai Ciliwung, di sebelah pilar gerbang Passer Baroe. Karena lagi-lagi tidak bisa masuk ke kantornya, aku langsung saja berjalan memasuki area ruko Passer Baroe.

Passer Baroe ini didirikan tahun 1820 dan menjadi ramai saat itu. Passer Baroe ini merupakan satu dari 3 pasar tertua di Jakarta. Yang lebih tua adalah Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang. Nah, Passer Baroe ini jadi kawasan orang India pada zaman Batavia. Ada berbagai toko yang umurnya sudah sangat tua tapi masih berdiri sampai hari ini. Pedagang Tioghoa, India, Arab, dan pribumi pernah bersatu di sini zaman dulu. Patut jadi inspirasi kita hari ini ya biar isu perbedaan SARA tidak memecah-belah bangsa ini.



Sekilas, Passer Baroe tampak seperti pasar-pasar biasa. Tapi, jika ditelusuri, konsep ruko alias rumah-toko itu sudah ada berabad yang lalu, ya. Konsep rumah di Tiongkok yang didominasi oleh pedagang masuk ke Batavia. Bagian bawah bangunan adalah tokonya, sementara pemilik toko tinggal di lantai atas. Lantai akan bertambah terus ke atas saat pemilik toko berkembang dan beranak-pinak. Begitulah konsep tempat tinggal bagi orang Tiongkok, dan kita mengadopsinya. Peninggalan-peninggalan itu masih terlihat hingga hari ini di Passer Baroe. Masih ada pula toko-toko kuno yang tetap eksis seperti toko sepatu Sin Lie Seng yang punya garansi sepatu kulit seumur hidup dan Lee Ie Seng, toserba sejak tahun 1873.


Hampir sampai di ujung pasar, kami berbelok kanan ke arah sebuah vihara yang juga sudah sangat tua, Sin Tek Bio. Kebetulan banyak orang sedang bersembayang dalam rangka imlek. Bau dupa merebak di sepanjang gang sempit area vihara. Aku hanya dapat mengambil gambar dari luar vihara karena takut mengganggu umat Buddha bersembayang. Ada puluhan lilin menyala dan nuansa merah memenuhi keseluruhan vihara. Dulu, Sin Tek Bio tidak berada di gang sempit seperti sekarang. Bangunan di depan Vihara ini belum ada sehingga vihara ini tampak terbuka. Saat ini keadaanya berbeda. Vihara terletak di ujung gang sempit tanpa ada penunjuk papan arah keberadaan tempat peribadatan umat Buddha ini.

Di bagian belakang vihara dapat kita lihat arsitektur kuno peninggalan etnis Tionghoa. Rumah-rumah sempit dengan pintu yang sangat rendah. Gang tempat kami melintas itu disebut Gang Kelinci karena dulu terdapat banyak kelinci lewat di sini. Wah, jadi ingat lagu anak-anak yang menyebut-nyebut gang kelinci.



Walking tour berakhir saat kami menyusuri Gang Kelinci dan tertumbuk pada sebuah gereja peninggalan Portugis. Gereja ini merupakan gereja tua Protestan di Indonesia bagian barat. Nuansa Eropa sangat kental terlihat dari menara dan beberapa relief binatang pada kaca jendela di atas pintu gereja.

Begitulah rute jalan-jalanku di Passer Baroe, melihat-lihat bangunan peninggalan Belanda, Portugis, dan Tiongkok. Kami beristirahat sembari makan siang di restoran Bakmi Kelinci yang memang berada di Gang Kelinci. Setelah itu, sebuah bus city tour bertingkat siap mengangkut kami dari halte Passer Baroe kembali ke Bundaran Senayan.


FYI, ada hal yang baru aku tahu bahwa bus City Tour disebut Mpok City karena semua pengemudi bus bertingkat ini perempuan alias mpok-mpok dalam bahasa Betawi. Kenapa harus mpok-mpok? Karena perempuan dipercaya dapat mengemudi dengan sabar. Bus City Tour melaju sangat pelan untuk memperkenalkan para penumpang (yang disebut wisatawan) tentang pusat Kota Jakarta. Free. Jadi tidak kejar setoran sehingga tidak ada alasan untuk kebut-kebutan.

Acara jalan-jalan ini diakhiri dengan bagi-bagi hadiah dari ITDP di atas bus city tour. Tak disangka-sangka, aku menang lomba fotografi di Instagram yang bertema Bus Transjakarta. Yuhuuu, usai walking tour, aku bawa pulang voucher belanja Carrefour senilai Rp500.000. Lumayan untuk stok bulanan. Terima kasih tim penyelenggara.


Komentar

Popular Posts