Bromo Trip: Rindu yang Terkisah pada Sunrise di Pananjakan Bromo

Entah sejak kapan sunrise begitu diidamkan padahal ia datang setiap pagi. Hanya kita yang melewatkan kehadirannya yang indah, yang menawan. Rindu. Mungkin kata ini lebih tepat untuk mengantarkan kami menuju Pananjakan Bromo pagi itu (8/12/13) di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Rindu alam. Rindu menghirup udara segar. Rindu menyentuh awan. Rindu menatap hari memulai paginya. Indah dan dinantikan. Lalu rindu pada ciptaan-Nya yang memang selalu memesona.

Lukisan langit kala subuh di Pananjakan Bromo.
Pukul 3 dini hari, 2 jeep menjemput kami di homestay. Semua siap meskipun dingin merasuk. Dengan baju berlapis, jaket tebal, syal, sarung tangan, dan kaus kaki melekat di badan, kami bersembilan menuju pananjakan pagi-pagi buta. Ternyata di perjalanan, banyak jeep-jeep yang melaju di depan dan di belakang. Ada pula motor-motor ribut berpacu di jalan yang menanjak itu. Semua menuju 1 spot, spot melihat matahari terbit dengan pemandangan yang luar biasa di bawahnya.

Jeep hanya mampu mengantar kami sekitar 1 km dari lokasi tujuan. Sisanya kami harus berjalan kaki menuju pelataran, sebut saja teras Bromo. Aku tidak tahu kami sedang berada di ketinggian berapa mdpl, tapi yang jelas udaranya lebih dingin daripada di kawasan homestay. Yang harus dilakukan adalah bergerak. Kami berjalan dalam gelap. Senter sudah siap sedia. Ada beberapa warung yang kami lewati menjual syal, sarung tangan, kupluk, jaket. Ada pula penyewaan jaket mantel. Meski pagi-pagi buta, jalanan ramai pelancong. Kami harus jalan bergandengan. Kalau terpisah, akan susah mencari orang di tengah keramaian yang gelap seperti itu.

Mulanya jalan beraspal. Lalu kami menaiki anak tangga yang entah berapa jumlahnya dan sampailah di tempat paling padat. Ada sekitar ratusan manusia menumpuk di spot itu. Inilah yang dimaksud dengan Pananjakan Bromo, sebuah teras yang memang sudah disediakan untuk wisatawan yang ingin menikmati matahari terbit. Masih pukul 4 pagi. Langit hitam gelap. Kami mencari spot yang lebih nyaman dengan view point yang dirasa pas.

Matahari terbit dengan gagah.

Mentari mulai menebar cahayanya.

Tak hanya manusia, tumbuhan pun berpesta menyambutnya.

Sekitar pukul 5 kurang, sayup sayup terlihat lukisan oranye di batas cakrawala. Ini semacam atraksi pagi hari. Lalu perlahan guratan-guratan awan terlihat. Kami menunggu hingga cahaya mulai memancar. Lalu terlihatlah pemandangan dengan padang pasir luas di bawah sana, dengan beberapa puncak-puncak Bromo yang mencuat. Kemudian, jauh di sebelah kanan, puncak Semeru berdiri dengan gagah dikelilingi awan tipis. Sungguh mentari yang punya kuasa memperlihatkan pemandangan nyata itu.

Teras langit.

Jauh di sana, Semeru berdiri tegap.
Kini rindu telah terkisah pada lukisan langit pagi itu. Langit dengan luar biasa mengurai kisah itu menjadi asa yang baru. Lalu, semua orang pun bersuka ria memulai harinya. Meski jauh di ujung timur pulau Jawa, kisahku tak akan pernah ada ujungnya, karena puncak-puncak gunung yang mencium langit seakan membisikkan asa yang lain yang terbentuk pagi itu.


***
Sedikit intermezo...

"Pananjakan Bromo sedingin apa, sih?"
"Enggak terlalu dingin, kok. Prepare jaket aja."
"Bawa jaket tebal banget atau biasa aja, nih?"
"Biasa aja."
"Sedingin Puncak atau lebih? Kamu pakai jaket apa?"
"Dingin banget tapi aku cuma pakai sweater."

Oke. Pembicaraan malam sebelum Bromo trip, sambil membayangkan kadar dingin kawasan Gunung Bromo. Dan ternyata... temanku salah, Dinginnya sama sekali tidak santai. Dingin menusuk. Mulanya gemetar, lalu gigi gemeletuk dan tubuh menggigil. Lain kali, kalau ke sini memang harus bawa jaket tebal windproof, waterproof, dan snowproof sekalian. Jangan berdiam diri di tempat. Bergerak itu lebih baik.



After sunrise...


Photos: courtesy of Ipin Upin, Mba Nila, Ageng Wuri

Komentar

  1. Ehh, ada bang Ipin :D apa kabar bang?

    Rindu juga sepertinya yang ingin kusampaikan pada penulis tulisan ini :)
    Tidak ada yang bisa mewakilkan kata itu kecuali si penulis itu sendiri :)

    Salam hangat dariku, sansadhia

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular Posts