Filosofi Kopi: Jangan Bercanda Soal Kopi

Tagline keren dari Ben (Chico Jerikho) yang mengena bahkan saat layar bioskop ditutup adalah "Gue nggak Pernah Bercanda Soal Kopi".
Kalimat ini menjadi semacam nadi dari film Filosofi Kopi besutan sutradara Angga Dwimas Sasongko. Lewat film ini, kopi tidak lagi hanya sekadar minuman pengusir kantuk atau penambah gairah berpikir.

Kopi punya filosofi. Lewat kedai Filosofi Kopi yang dikelola Jody (Rio Dewanto) dan Ben, cerita tentang kopi menjadi hangat, penuh konflik, lalu berakhir serius dengan kisah masa lalu yang nggak jauh-jauh dari kopi.

Film Filosofi Kopi (Poster diambil dari sini)

Ben dan Jody sepakat membesarkan Filosofi Kopi. Jody terobsesi memperoleh income lebih besar dari kedai kopinya untuk melunasi utang ayahnya. Sementara Ben terobsesi untuk meracik kopi terbaik di Jakarta bahkan di Indonesia. Di tengah balada utang yang semakin ketat, datanglah angin segar dari seorang pengusaha kaya. Dia menantang Ben untuk membuat House Blend terbaik di Indonesia dengan ganjaran 100 juta rupiah. Mulanya Ben tidak tertarik. Tetapi ketika Jody mengatakan bahwa tantangan itu adalah golden ticket mereka, Ben pun setuju. Petualangan mencari dan meracik kopi terbaik pun dimulai dengan Ben sebagai creator-nya.

Film adaptasi dari Cerpen "Filosofi Kopi" Dee Lestari.

Mengadaptasi sebuah cerita pendek menjadi film layar lebar versi panjang tentu tidak mudah. Tapi toh akhirnya filmnya jadi senikmat kopi dengan durasi 117 menit.

Apa yang menjadi kelebihan film ini? Karena berangkat dari sebuah cerpen karya Dee Lestari, tidak membuat film ini menjadi minim konflik. Justru sebaliknya. Dari cerpen itu, cerita berkembang dan ada penambahan plot serta tokoh. Kemunculan El (Julie Estelle) menjadikan Filosofi Kopi sedikit manis. Ternyata film-film Indonesia memang butuh perempuan untuk mempermanis plotnya. Ya begitulah, El hadir di tengah-tengah Ben dan Jody yang menghancurkan harapan mereka terhadap persepsi tentang kopi terbaik.

Ben berhasil membuat Kopi Perfecto yang sempurna (Gambar diambil di Muvilla.com)

Mulanya penonton akan dibawa terpukau dengan kedai kopi yang menyediakan berbagai jenis kopi yang ternyata punya rahasia dan filosofi masing-masing. Lalu kita juga akan melihat bagaimana Ben sangat mencintai kopi hingga terobsesi. Dari film ini, aku mengerti bahwa peminum kopi dengan penikmat kopi itu beda jauh. Cara minumnya aja berbeda.

"Kopi yang enak akan menemukan penikmatnya."

Itulah kata-kata Ben yang kerap membuat jengkel Jody lantaran Ben tidak mau kedainya dinodai wifi. Sangat kontras dengan deretan mesin-mesin peracik kopi yang sempat mencuri perhatian. Semuanya serba modern. Sementara wifi hanya menjadi list penghancur kenikmatan dalam meminum kopi.

Ben di acara pelelangan kopi (Gambar diunduh dari muvila.com)

Kemudian film ini mengantarkan kita pada berbagai jenis kopi yang memang merajai kenikmatan kopi di dunia. FYI, Indonesia adalah salah satu negara penghasil kopi terbesar. Sudah tentu, kopi-kopi kita sudah jadi incaran terbaik para penikmat kopi. Ada ya orang yang tujuan traveling-nya hanya untuk minum kopi? Luar biasa. Semua tersampaikan dengan baik dalam film ini, termasuk jenis-jenis kopi yang banyak diincar di Indonesia sendiri seperti Malabar, Gayo, dan Papua. Aku yang awam soal kopi jadi manggut-manggut tanpa perlawanan.


Seharusnya tantangan membuat house blend terbaik bukan perkara sulit bagi Ben. Namun segalanya jadi sulit ketika El mengatakan kopi Perfecto versi Ben kalah telak dengan Kopi Tiwus yang diracik oleh petani kopi. Ben tidak habis pikir, racikan kopi dengan mesin yang serba sophisticated bisa dikalahkan dengan racikan kopi sederhana. Namun, di sanalah esensi film ini kita temukan.

Sebagaimana penikmat kopi sejati, ada cara keren dalam meminum kopi yang membuat orang lain tergugah, alias ngiler. Seruput. Ya, dengan menyeruput kopi, dengan bunyi hirupan, serta tegukan di kerongkongan. Sepertinya memang nikmat sekali. Kopi hitam, tanpa gula, hangat, lalu tinggal diseruput. Siapa yang tidak setuju bahwa kopi itu memang sumber inspirasi?! Apalagi di film ini, antara gambar dan bunyi jadi harmonis. Sutradaranya sangat tau bagaimana menyajikan gambar-gambar tentang kopi yang membuat penonton turut merasakan wangi kopi, hangat, serta rasa nikmat. Ya, rasa. Menurutku, film Filosofi Kopi sukses menyampaikan nilai rasa dari sebuah kopi, sebuah persahabatan, dan sebuah keluarga. Penyajian gambar begitu teliti, mulai dari pengolahan biji hingga menghidangkan kopi. Bunyi mesin, derai biji kopi, hingga bunyi seduhan kopi sangat menggugah. Meskipun aku bukan pencinta kopi, siapa yang menolak kalau diberikan secangkir kopi hangat dari Ben. Iya kan?! Rasa hangatnya tidak hanya sampai di tenggorokan, tetapi juga hingga ke jiwa. Ini bukan kata-kata lebay lho. Seperti ucapan El, "Bikin kopi tuh emang nggak bisa cuma pake kepala, ya, tapi juga harus pake hati." Ya, membuat kopi hingga menyeduhnya bukan perkara modernitas, tapi perkara hati dan jiwa yang menelurkan kata cinta.

Pengolahan biji kopi ala Ben

Kurasa kalimat tagline film "Temukan Dirimu Di Sini" tidak terlalu muluk, karena memang Ben, Jody, dan El akan menemukan dirinya sendiri lewat masalah kopi. Ada masalah di balik hanya sekadar membuat dan meminum kopi. Ketiga tokoh, khususnya Ben akan menemukan kuncinya dari secangkir kopi hangat.

Seperti kopi yang akan menemukan penikmatnya, film ini juga tentu akan menemukan penontonnya. Kata Filosofi sebagai judul film ini tidak lantas membuat ini menjadi film berat. Dialognya sungguh ringan. Chemistry brotherhood antara Ben dan Jody sangat kental. Sejenak mengingatkanku pada chemistry Lukman Sardi dengan Abimana dalam film Edensor. Begitu renyah meski konflik kerap membayangi persahabatan mereka.

Chemistry Ben dan Jody yang meninggalkan kesan

Jadi ternyata semua diserahkan lagi ke penikmat film. Jika kamu bukan penikmat kopi, Filosofi Kopi akan mengenalkanmu pada kenikmatan kopi. Jika kamu penggila kopi, Filosofi Kopi akan memberi tahu bahwa kopi tak hanya sekadar minuman. Ada cerita di baliknya, seperti kisah Ben dan Jody ini.

Mengapa aku terpukau dengan Ben dan Jody saja, tidak dengan El? Yeah, El memang hanya karakter tambahan di luar cerita pendeknya. Namun, perannya tidak begitu kuat hingga membuyarkan harapan Ben seperti di dalam plot-nya. Karakter El masih belum bisa dimainkan dengan sempurna hingga klik dengan dua tokoh laki-laki yang sudah ada chemistry ini. Namun, kehadirannya bagaikan gula di dalam kopi, bisa ditambahkan, bisa pula tidak.

Apa yang kamu pikirkan tentang Kopi Tubruk? (Gambar diunduh dari web Filosofi Kopi)

Yang membekas dari Filosofi Kopi adalah quotes-nya. Voila!

Filosofi Perfecto -- Sukses adalah wujud kesempurnaan hidup.
Filosofi Kopi Tubruk -- Kenali lebih dalam dan terpukaulah oleh lugunya sebuah pesona.
Filosofi Cappuccino -- Keseimbangan dan keindahan adalah syarat mutlak keberhasilan.
Filosofi Tiwus -- Walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya.
Filosofi Macchiato -- Sendirian atau berdampingan hidup sepatutnya tetap penuh arti.

Komentar

Posting Komentar

Popular Posts