Di sela-sela kesibukan kerja, selalu berpatut pada deadline, kami menyempatkan untuk berfoto bersama. Shoot all the time. Here we are. Majalah Teen harus trendy, smart dan happy together
Di sela-sela kesibukan kerja, selalu berpatut pada deadline, kami menyempatkan untuk berfoto bersama. Shoot all the time. Here we are. Majalah Teen harus trendy, smart dan happy together
Artsy sunday
Dari Galeri Nasional ke Berseni Project, Tugu ProklamasiDari Lukisan Raden Saleh ke Woosaah!!!
Kali ini adalah kisahku di galeri
bulan Juni lalu. Hari Minggu yang kosong tanpa jadwal berarti
mendadak menjadi hari penuh seni dan galeri.
Aku, Ella, Bumi adalah 3 orang
disorientasi tujuan pada hari itu. Tetiba terbersit ide untuk
mengunjungi pameran lukisan yang 'hits banget' di Twitter, Pameran
Lukisan Raden Saleh. Kebetulan hari terakhir.
Berangkatlah 3 sekawan sekosan ini ke
Galeri Nasional. Minggu siang yang panas tanpa awan. Kami memutuskan
naik Commuter Line dari stasiun Tebet ke Gambir. Mulanya semangat
menunggu kereta di peron stasiun. Kami begitu ceria dengan kamera SLR
milik Bumi. Peron yang panas mencipta kisah 3 manusia dengan 3
profesi: fotografer amatiran, model dadakan, dan reporter beneran di
TKP peron Tebet. Berpanas-panaslah rialah kami karena 1 jam menunggu
kereta yang tak kunjung datang.
Akhirnya Commuter Line nongol juga.
Kami masuk ke gerbong khusus wanita. Tidak kosong tapi tidak penuh
juga. Kereta melintasi stasiun demi stasiun. Lalu sampai di Gambir.
Galeri Nasional terletak persis di
seberang Stasiun Gambir. Panas matahari masih belum meredup. Setelah
adem-ademan di kereta, kami berharap bisa adem-ademan di galeri. Tapi
ternyata... antrian kira-kira 10 meter ada di depan mata. Sedikit
terkejut dan takjub, galeri nasional jadi ramai begini. Orang
rela-rela berpanas-panasan untuk sebuah pameran lukisan. Pengunjung
datang dari berbagai kalangan, mulai dari pencinta seni, akademisi,
bule, kakek, nenek, anak-anak yang tergolong awam ikut mengantri.
Masuk ke dalam gedung pun pakai
kloter. 1 kloter 20 orang. Yaak, kami harus rela panas-panasan lagi
sekitar 30 menit. Di stasiun sauna, di galeri matang diungkep.
Begitu masuk galeri, kami langsung
disambut profil singkat Raden Saleh beserta fotonya. Lalu kami
beralih ke sederetan lukisan. Kalau boleh kutaksir, lukisan ini udah
berabad umurnya, dan kondisinya masih sangat bagus. Lukisan-lukisan
ini murni hasil karya Raden Saleh yang sebagian adalah koleksi
pribadinya, sebagian lagi menjadi koleksi istana negara dan beberapa
instansi.
Rupa-rupa lukisannya berbeda-beda.
Lukisan pemandangan, binatang, dan potret manusia. Dari cat minyak
sampai goresan sketsa. Ini adalah hasil karya Raden Saleh selama di
Eropa dan Indonesia. Aku menangkap, Raden Saleh lihai dalam melukis
landscape alam. Detailnya begitu luar biasa. Tidak salah kalau Raden
Saleh begitu menginspirasi perkembangan seni lukis modern di
Indonesia.
Puas menikmati lukisan Raden Saleh,
kami bertemu kawan sejawat (lebih tepatnya berkenalan) dengan pemilik
sebuah galeri di tempat lain, Berseni Project. Kami diajak untuk
mampir ke pameran Woosaah!!! di Jalan Proklamasi. Kebetulan ini hari
terakhir pamerannya. Dengan senang hati kami pun mampir.
Usai melihat lukisan yang berusia
100-an tahun, di Berseni Project mataku dimanja dengan lukisan
abstrak. Beberapa lukisan yang dipajang di sini
adalah hasil karya street artist. Suasananya lebih fun dan colorful. Lukisan-lukisan Woosaah!!! lebih ke
bentuk potret abstrak, surealis nan menggigit, berikut dengan
kritikan yang tersirat di dalamnya.
Hari Minggu di bulan Juni kenyang
dengan karya seni. Meminjam kata-kata temanku, Bumi.
It was really an Artsy Sunday.
Destination is finally done...
Setelah bersih-bersih, kami langsung berangkat pulang. Liburan berakhir. Wait, Perjalanan masih panjang. Masih ada sekitar 9 jam lagi yang harus kami tempuh untuk sampai di Jakarta. Prediksi kami adalah perjalanan pulang biasanya lebih cepat. Entah itu sekadar asumsi atau menghibur diri.
Pada menit-menit
awal, semua personil tertidur karena kecapean. Kecuali Junisatya yang
konsentrasi menyetir. Seakan tersadar karena laju mobil semakin cepat
dan jalanan berguncang-guncang, kami pun bangun. Untuk mengusir
kantuk, kami menyalakan musik dan karaokean bersama sambil melihat
pemandangan bukit. Tentu saja semua jadi melek.
Kami berencana
untuk makan siang saat memasuki kota Sukabumi. Tapi waktu sudah
menunjukkan pukul 3 sore. Kami berhenti di pom bensin untuk ke toilet
dan sholat. Rencana kuliner makanan Sunda pun tertunda. Perut lapar
tapi jalanan mulai macet. Kami mengisi amunisi dengan jajan di
Alfamart. Lumayan untuk mengusir lapar sejenak.
Jalanan semakin
mandek karena ada perbaikan di sana-sini. Kami juga baru ingat bahwa
hari itu adalah hari terakhir liburan sekolah, jadi wajar kalau
jalanan ramai dan padat begitu. Semua mobil berplat B dan F. Semua
menuju ke arah Bogor dan Jakarta. Sepertinya kami harus lebih
bersabar lagi nih di jalan.
Mulut tak berhenti
mengunyah dan mengoceh di sepanjang macet. Tak ada yang benar-benar
tidur karena mata kami awas menangkap tanda-tanda adanya restoran
Sunda. Seakan menyerah, kami pun berhenti di warung ayam bakar di
pinggir jalan. Perut sudah tak bisa berkompromi. Dengan lahap, 1 ekor
ayam itu pun ludes seketika.
Ciawi sudah dekat.
Dan hari mulai gelap. Jalanan semakin padat. Kami berhenti lagi di
sebuah pom bensin di Ciawi untuk istirahat sejenak. Es krim menjadi
cemilan dingin yang kami lahap berikutnya. Es Krim Wall's Buavita berbagai rasa dicoba. Bahkan dari satu es krim aja bisa muncul perdebatan dan konflik (alias berebutan). Kata orang-orang tua, es krim bisa menenangkan dan meredakan stres. Tapi es krim bisa meluluhkan lelahkah?
Untungnya belum ada yang
bosan dengan jalanan malam itu. Semua pasrah jam berapa pun sampai di
rumah. Yang penting selamat.
Lagu dan video
Westlife pun kami putar di mobil. Lumayan untuk membunuh jenuh. Tol
Jagorawi... Tol Cikampek... Kami ke Tambun terlebih dahulu mengantar
Ririn. Tapi masih pakai nyasar. Kami kesasar di Cikunir. Lumayan tuh
menghabiskan waktu 30 menit sendiri untuk balik arah. Junisatya
semakin menggila membawa Avanzano-nya.
Persis pukul
setengah 11 malam, kami sampai di rumah Ririn. Disambut sumringah
oleh ibunya. Disambut meriah juga dengan nasi goreng di rumahnya.
Wah, kebetulan, perut sudah lapar lagi, ditemani kerupuk kulit. Usai
makan, kami masih duduk berselonjor, mengumpulkan sisa-sisa tenaga
untuk melanjutkan perjalanan. Junisatya, si single fighter mesti
dipijit dulu karena Kratingdeng pun sudah tak mempan menambah
tenaganya.
1 jam di rumah
Ririn, kami paksakan untuk bergerak. Tujuan selanjutnya adalah rumah
Lia di Pasar Rebo. Menjelang tengah malam itu, tol Cikampek masih
terbilang padat. Tenaga serasa sudah habis, yang tersisa adalah
kantuk. Bahkan sang driver juga sudah 'mabuk nyetir' sepertinya. Tapi
semua dihajar. Kami masih berusaha untuk konstan bercanda meski
kualitasnya menurun drastis.
Sampai juga di
rumah Lia. Ageng dan Ail juga ikut turun di sana dan lanjut naik
taksi. Ageng sempat trouble karena sebelumnya lupa izin dengan
ortunya, sehingga saat ia sampai di rumah, rumah terkunci rapat.
Sementara Ail masih terus ke arah Kebun Jeruk, rumahnya. Aku dan
Junisatya langsung melintas bebas hambatan ke arah Tebet.
Saat aku turun,
yang terlihat di mobil adalah sampah dan sisa-sisa jajanan. Lumayan
tuh buat menambah stock makanan.
Dengan begitu,
perjalanan selesai. Destination berakhir. Sampai bertemu di liburan
selanjutnya, Teman.
Next... little dissapointment
Sebelum memutuskan
untuk balik ke Jakarta, kami mampir ke Curug Cikaso, di kabupaten
Surade searah jalan pulang. Sekitar setengah jam dari penginapan
kami. Curug Cikaso itu curug dengan 3 air terjun. Ini adalah salah
satu spot yang tak boleh terlewatkan oleh para wisatawan yang
berlibur ke Ujung Genteng.
Karena penasaran,
mampir sebentar di sini tak ada salahnya barang 1-2 jam. Begitu
sampai di sana, mobil diparkir dan kami berganti pakaian, siap basah
dan berenang. Untuk menuju Curug ada 2 alternatif, jalan kaki sekitar
10 menit atau naik perahu sekitar 5 menit. Kami memutuskan untuk naik
perahu, biar sekalian foto-foto di atas perahunya.
Curug Cikaso tidak
terlalu jauh. Bahkan tak sampai 5 menit, kami sudah berada di dermaga
Curug. Namun, tiba-tiba kekecewaan menyelimuti kami (lagi). Tiga air
terjun itu kering. Yang ada cuma curug dengan air berwarna hijau
keruh. Banyak juga pengunjung lain yang sama kecewanya seperti kami.
Karena sudah terlanjur ke sini, tanggung basah, sekalian main
basah-basahan aja. Walaupun tak seperti yang diharapkan. Setidaknya
kami masih bisa berpuas hati di sini. Puas nanggung.
Kami kembali ke
parkiran mobil dengan perahu yang disewakan tadi. Ada tour guide yang
mendampingi kami (yang sebenarnya gak penting tuh si tour guide. Dia
cuma mau mengambil keuntungan dari kami, minta tambahan bayaran).
Naik perahunya juga tidak terlalu nyaman dengan standar harga sewa
yang tinggi. Kali yang kami lewati kotor, tidak terlalu terawat.
Kekecewaan kami akan Curug Cikaso menjadi berkali-kali lipat.
Penduduk sana tidak mengelola manajemen wisatanya dengan baik. Yang
mereka tau, banyak wisatawan sama dengan banyak pemasukan.
So far, kami bahagia. Rasanya lengkap. I'm really excited for our holiday. Setidaknya kami tahu yang mana yang namanya Curug Cikaso meski air terjunnya kering karena musim kemarau.
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)