"Sebelumnya kamu pernah perawatan kulit di klinik?" Itu pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh dokter kulitku saat sedang konsultasi di Erha Apothecary di Senayan City. Aku menjawab, "Pernah, Dok. Tapi sekitar 5 tahun lalu." Dokterku ini bernama Dokter Gracia yang sangat ramah. Dia hanya mengangguk-angguk paham ketika melihat kulit wajahku yang kusam. Jadi, aku memberanikan diri kembali ke klinik kulit setelah sekian tahun. Jadi ingat, dulu treatment kulit karena ada masalah jamur di area tulang pipi, di bawah mata. Mau tidak mau, aku perawatan kulit wajah mulai dari akupunktur wajah dan facial berkala. Setelah kulitku kembali pulih, aku tidak pernah datang lagi ke klinik. Sekarang aku ingin perawatan kulit intensif lagi dengan dokter. Keseringan terpapar sinar matahari, wajahku menjadi sangat kusam. Kegiatan traveling itu memang sangat berpengaruh pada wajah kita. Masalah kulit seperti jerawat, kulit kusam, kulit kering, komedo adalah masalah yang tak pernah sele
Satu lagi drama Cina yang berkesan aku tonton. Aku baru saja menuntaskan drama Cina bertema kompetisi e-sports berjudul Falling Into Your Smile . Jangan tanya mengapa aku nonton drama Cina melulu, ya. Masa PPKM Darurat membuatku punya banyak sekali waktu luang di rumah. Aku random aja cek di WeTV, ada drama baru apa yang menarik. Drama Korea akhir-akhir ini kurang greget. Jadilah aku pilih drama Cina yang satu ini karena cast-nya menarik dan segar-segar. Jadi kesan pertamanya bukan karena plotnya ya, melainkan karena aku lihat di trailer, Falling Into Your Smile benar-benar mengumpulkan cast aktor yang cakep dan anak muda semua. Nggak perlu pikir panjang, aku langsung setel WeTV di TV dan nonton Falling Into Your Smile marathon beberapa hari sebanyak 31 episode. Falling Into Your Smile (sumber: viki.com) Nontonnya nggak bisa berhenti. Karena itu begitu tamat, aku langsung pengin menulis ulasannya di blog ini. Jadi apa yang menarik dari drama Falling Into Your Smile ? 1. Mengangkat te
Udah punya rencana apa buat mudik Idulfitri tahun depan? Aku udah hampir 2 tahun nggak mudik nih ke Padang. Bukannya durhaka, ya, tapi kebetulan banget pas 2 kali musim puasa Ramadhan, aku sedang berada di Georgia dan Bulgaria untuk misi kebudayaan. Jadinya, begitu pulang ke Indonesia menjelang lebaran, aku dan Junisatya memutuskan untuk nggak mudik dulu. Biayanya abis buat jajan takjil di Eropa Timur. :)) Masih Desember, kok udah ngomongin mudik? Ya iya, ini karena orang asyik ngomongin liburan Natal dan Tahun Baru, aku jadi ingat belum ngecek tiket mudik buat tahun depan. Coba aku cek dulu deh. Ngomongin mudik ke Padang, aku mau cerita sedikit tentang budaya Minang. Masih fresh nih cerita tentang misi budayaku di Bulgaria musim semi kemarin. Aku di sana mengenakan pakaian adat Koto Gadang, salah satu daerah di kawasan Bukittinggi. Katanya suntiang Koto Gadang yang cuma berbentuk selendang tebal itu hanya boleh dikenakan oleh perempuan yang sudah menikah (khusus berwarna mera
Roda pesawat berdecit. Baling-baling nyaring di kuping. Ah, sampai juga.
Setelah 3 jam perjalanan udara di Jakarta menuju Ambon dan 1 jam transit dari Ambon ke Tual, Pulau Kei Kecil, akhirnya aku bertemu laut di belahan timur Indonesia. Ini kali pertama, aku menginjak tanah timur yang katanya memiliki kadar garam laut yang luar biasa tinggi. Ya, karena jarang terjamah tangan manusia.
Benar kata Bapak Dosen yang sempat berkenalan denganku saat transit di Ambon. Tual itu indah. Pasirnya putih, tapi negerinya panas. Kupikir Tual itu tak bertuan, tetapi ternyata dari bapak dosen di Universitas Hasanuddin ini, aku tahu bahwa banyak marga di Kepulauan Kei. Seperti di Ambon, Kei pun diisi beragam agama yang hidup berdampingan. Ada kampung Islam (ini yang terbesar), ada kampung Kristen, ada kampung Katholik, dan sebagainya.
Bapak Dosen berpesan begini, "Saat kamu pulang ke Jakarta, tulislah yang indah-indah tentang Kei. Kei masih sangat sepi. Baru sedikit orang ke sana. Kei adalah kampung halaman saya."
Sebegitu besar harapan si Bapak Dosen yang baru saja kukenal itu hingga aku tak tega untuk tidak menuliskan perjalanan itu di blog ini. Kei memang sangat indah.
Let's explore!
Di pesawat baling-baling dari Ambon ke Tual.
Mendarat di Bandara Langgur, Tual, Kei Kecil.
Kepulauan Kai atau sering dibaca Kei, berlokasi di sebelah tenggara Maluku. Sebuah sumber yang kubaca tentang geografi Maluku, Kepulauan Kei ini terdapat di dekat Laut Banda dan umumnya terbagi dua, yaitu Kepulauan Kei Besar dan Kepulauan Kei Kecil. Namun, yang sempat aku jelajahi adalah Kepulauan Kei Kecil.
Nama Kai atau Kei sebenarnya nama yang diberikan oleh orang asing jauh sebelum Belanda datang. Penduduk asli menyebut pulau ini Nuhu Evav (Pulau Evav). Nama Kei sendiri ditulis oleh Alfred Wallace di Malay Archipelago dengan Ki, Ke, dan Key. Konon, katanya ada surat yang menuliskan bahwa seorang pemimpin dari Quey meminta para pastur untuk datang ke pulau ini. Lalu Quey menjadi Kei atau Ki. Mungkin saja, bukan?!
Oke, cukup keterangan tentang asal-usul negeri Kei ini. Mari lanjut ke kisah perjalananku, Junisatya dan beberapa teman lain mengarungi Kepulauan Kei Kecil. Beruntung sekali saat kami ke sana, langit biru dengan gumpalan awan putih menyambut. Cerah.
Dari Bandara Langgur, kami bertolak ke sebuah gua bernuansa agak mistis, Goa Hawang karena sejalur dengan bandara. Goa Hawang menjadi pembuka perjalanan kami di Kei, semacam jamuan pembuka. Bukan pantai, bukan pula bukit. Tapi goa dengan air yang mengalir di dalamnya, sungai bawsah tanah.
'Hawang' dalam istilah lokal sama dengan setan. Jadi gua ini bisa disebut Goa Setan. Tak ada arti apa-apa saat kami ke sana. Dengan jalanan hutan lalu tangga yang melingkar ke bawah, kami menjajaki satu per satu hingga mulut gua yang menganga lebar. Tapi kami tak sendiri, ada banyak warga yang menjadikan Goa Hawang sebagai tempat pemandian. Air yang menggenangi mulut gua sangat jernih dan dingin. Tampaknya segar. Katanya air sungai bawah tanah ini terhubung dengan mata air Evu, mata air warga Kei Kecil. Sayang, kami tak membawa persiapan berenang saat itu. Jetlag perjalanan dari barat ke timur Indonesia masih membayangi kepala kami. Hanya duduk menikmati gemericik air dan relief gua sudah cukup bagi kami. Ada lorong panjang di dalamnya, tapi tak ada seorang pun yang berani berenang jauh ke dalam. Tak ada yang tahu berapa panjang lorong itu dan akan tembus ke mana. Tak apa. Yang kami cari adalah keindahan serta nyanyian air yang membahana di mulut gua.
Goa Hawang
Seperti khas Maluku, Kei penuh nyanyian. Di sela senyum, ada nada yang mengantar. Hati pun bergetar. Begitulah Tual menyambut kami. Usai menikmati musik alam di mulut gua, saatnya kami beralih ke nyanyian laut.
Ngurbloat.
Pantai berpasir paling halus yang pernah kulihat, bahkan mungkin paling halus di Nusantara. Aku tak mengelak, meraba Goa Hawang belum seberapa dibanding mendendang sunyi di Pantai Ngurbloat. Ya, pantai kala itu sangat sepi. Rupanya orang-orang Tual sedang tidak bertamasya. Kami dan hanya ada segelintir orang yang menapaki pasir lembut di Ngurbloat, menanti petang datang.
Ngurbloat artinya pasir yang panjang. Kami ke sana saat air laut sedang surut. Dan terlihatlah bentangan pasir putih teramat lembut sejauh mata memandang. Luas dan panjang. Kami sendiri tak tahu sampai di mana ujung dari pantai ini. Karena sepi, kami puas menari-nari, berlari-lari, dan akhirnya tertawa-tawa di pantai ini, ditemani pisang goreng dibalut embal (singkong yang disangrai, makanan khas orang Tual pengganti nasi). Apalagi yang masih kurang?
Keceriaan kami di pasir putih dan halus.
Mendendang sunyi di Ngurbloat.
Karang di pinggir Ngurbloat.
Ngurbloat sejauh mata memandang.
Omong-omong soal embal, si makanan khas yang sempat kami cicipi, aku punya pengalaman menarik.
Ibu warung : ini namanya embal. Makanan orang sini. Kalian harus coba.
Aku : (ngunyah) ini sagu bu?
Ibu warung : bukan. Itu singkong. Cuma orang Tual yang bisa buat.
Aku : resepnya apa, Bu?
Ibu warung : pengolahannya panjang. Singkong ditumbuk lalu dijemur. Nanti ada proses penyaringan dari kadar racun.
Aku : (menelan ludah) singkong beracun, Bu?
Ibu warung : iya. Ini jenis singkong beracun. Buatnya tidak bisa sembarangan. Hanya orang Tual yang bisa.
Aku : (makin ngeri) Menyebabkan kematian?
Ibu warung : iya kalau prosesnya ada yang kurang. Kami tidak kasih resepnya untuk pengunjung.
Aku : Pernah ada yang jadi korban? (curiga sianida)
Ibu warung : (nada santai) ya. 1 orang mati. Pengunjung yang minta resep dan coba sendiri. Dia tidak makan embal buatan orang Tual.
Percakapan selesai dan aku pun langsung minum air putih sebanyak-banyaknya. Ya, begitulah makanan tradisional dari daerah Tual, Kei Kecil. Berkhasiat, enak, dan telah melewati proses panjang hingga layak dimakan. Jadi pesan moralnya, cukup dinikmati saja, tanpa perlu rewel minta resep. Resep hanya milik si tuan warung makan.
A photo posted by Sulung Siti Hanum (@sansadhia) on
Beginilah kesan sehari berada di Kei. Nyanyian dan laut memang menjadi sonata dari tanah Maluku. Ditemani tekstur kasar makanannya, lengkap sudah hari itu. Jetlag terasa tak berarti apa-apa lagi. Semua terbayar.
ini trip yang tiap lu update di path langsung gw frowned itu kan ?
BalasHapusHahahahah. yang kamu lakukan kepada saya itu...JAHAT! :)
HapusIndah banget ya ciptaaan Tuhan YME. Salam
BalasHapusSalam juga. Iya betul.
HapusNum, ke Sana lagi truss ajak gue sm Nura hehehe
BalasHapusYuk ke Kei. Gue juga mau kalau ke sana lagi. dan toddler friendly kok lokasinya. Harus kuatin dompet :))
Hapus