Explore Sesuatu yang Baru di Yogyakarta hingga Klaten
Seberapa sering kamu ke Yogyakarta?
Beginilah aku menyapa Jogja dan sekitarnya kali ini. Nggak terlalu ambisius ke banyak tempat. Aku hanya ingin menikmati Jogja lebih tenang, mendatangi tempat-tempat yang berada di pinggiran kota bahkan hingga menyentuh Jawa Tengah. Aku juga sempat mencicip beberapa kulinernya. Nanti akan aku tulis di artikel terpisah.
Dalam 1 tahun, mungkin aku bisa beberapa kali ke Yogyakarta. Bahkan di blog ini pun, kalau aku mencari kata "Yogyakarta" ternyata aku sudah banyak menuliskan perjalanan ke kota yang ramah ini.
Terakhir kali aku benar-benar explore Yogyakarta itu tahun 2019 saat undangan event HUT Jogja bersama para content creator dan media dari ASEAN. Setelah itu pandemi.
Baca kisah Jogja di sini: KE JOGJA LAGI, KENALKAN 6 WISATA HERITAGE JOGJA
Aku sempat beberapa kali ke Yogyakarta setelah itu. Namun, ku tak sempat jalan-jalan. Hanya sebentar, paling lama 2 hari, paling cepat 2 jam. Iya, 2 jam, karena kebutuhan ke Yogyakarta hanya untuk me-review transportasi kereta api rute Jakarta-Yogyakarta. Sejak aku sering membahas tentang transportasi, aku sering diajak mencoba kereta api dan menceritakan pengalaman seru sepanjang perjalanan. Kebutuhannya cuma konten di kereta. Jadi Jogja-nya biasanya tidak dieksplor lebih jauh. Begitu sampai di Jogja, aku hanya istirahat sebentar, lalu pulang pada hari yang sama. Beberapa kali trip seperti itu. Sekalinya stay di Jogja masih urusan dinas tipis-tipis yang dinikmati sebagai suatu perjalanan. Aku pernah menuliskannya di blog ini.
Baca kisah Jogja di sini: 1 TAHUN KRL YOGYA-SOLO
Nah, kali ini, masih di paruh pertama 2023, aku berkesempatan lagi datang ke Yogyakarta. Kali ini, aku bisa mengatur jadwal sendiri dan memilih stay beberapa hari di Jogja. Senang sekali akhirnya aku bisa melepas rindu dengan Jogja, kota yang pernuh memori, penuh cerita, menyimpan banyak eksotika yang mempesona.
Halo, Yogyakarta. Tahun 2023, aku menyapa.
Aku naik pesawat dari Jakarta ke Jogja. Terakhir aku naik pesawat ke Jogja itu tahun 2019 untuk memenuhi undangan event HUT Jogja. Saat itu, aku landing di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta. Kali ini rutenya berbeda. Aku naik maskapai Pelita Air dengan rute Bandara International Soekarno-Hatta ke Yogyakarta International Airport (YIA). FYI, ini kali pertama aku mendarat di YIA, bandara baru di Jogja yang punya bangunan unik nan megah. Bandaranya berada di bagian selatan Yogyakarta, jadi bisa melihat view laut selatan pulau Jawa saat mendarat.
Aku pun punya pengalaman baru naik maskapai baru low cost Pelita Air yang baru buka beberapa rute, termasuk Jakarta-Yogyakarta. Langit Pulau Jawa lagi cerah-cerahnya dalam penerbangan lebih kurang 1 jam itu. Aku menobatkan penerbangan ke Jogja hari itu sebagai penerbangan terindahku di langit Pulau Jawa. Pesawatnya tenang, langit biru cerah diliputi gumpalan awan yang tipis, ditambah cahaya shimmering dari matahari sore yang menuju ufuk barat. Suka sekali.
Sesampai di YIA, aku dijemput oleh sahabat lama, Ria Febrina, yang sedang menetap di Jogja untuk studi S3 di UGM. Beberapa kali kami berjanji bersua, baru kali ini aku bisa meluangkan waktu di Jogja agak lama dan ditemani secara penuh oleh Ria. Intinya, aku datang ke Jogja untuk merepotkan mahasiswa S3 UGM ini buat explore sesuatu yang baru di Yogyakarta dan sekitarnya. Apa saja?
Jembatan Girpasang
Mungkin belum banyak yang tahu, kalau di kawasan Girpasang ada jembatan gantung
Ini tujuan pertama kami. Dengan berbekal motor, kami touring ke arah utara Yogyakarta sekitar 2,5 jam dengan drama nyasar karena mengikuti Google Maps. Aku lupa dengan pesan Junisatya, jangan percaya Google Maps saat berada di luar kawasan perkotaan. Tapi dengan sengaja dan tidak sengaja, drama itu berulang terus. Yah, namanya juga manusia.
Singkat cerita, kami sampai di Dusun Girpasang menjelang siang. Sebenarnya lokasinya sudah masuk wilayah Jawa Tengah, tepatnya di Klaten. Jembatan Girpasang dibangun secara swadaya oleh masyarakat setempat.
Jembatannya memang terlihat megah dan panjang. Panjangnya membentang 120 meter. Ada lembah sedalam 150 meter memisahkan dua dusun, Dusun Beringin dan Dusun Girpasang. Sebelum ada jembatan, masyarakat di sana harus menuruni tangga melewati lembah. Lalu untuk kebutuhan logistik, mereka menggunakan gondola sederhana. Gondola itu masih ada dan sesekali dipakai untuk mengangkut orang menyeberang.
Sejak Jembatan Girpasang diresmikan untuk mempermudah akses dua dusun ini, gondola menjadi aktif sebagai daya tarik wisata di kawasan Girpasang. Harga tiketnya Rp60.000 untuk 4 orang. Kita juga bisa melintasi jembatan Girpasang sesuka hati karena telah menjadi pusat wisata daerah ini. Gratis kok. Jembatan Girpasang baru saja dinobatkan sebagai juara 1 Anugerah Pesona Indonesia Awards tahun 2022 kategori wisata dataran tinggi. Sekeren itu ya Jembatan Girpasang.
Studio Alam Gamplong
Kamu tahu film Bumi Manusia? Walaupun ceritanya berlokasi di Surabaya, tapi shooting filmnya di Yogyakarta, di Studio Alam Gamplong ini. Lahan luas di desa Gamplong disulap menjadi perkampungan era abad ke-16-17. Studio ini juga sempat dijadikan lokasi shooting film Habibie & Ainun ke-3.
Sekarang Studio Alam Gamplong dibuka untuk umum sebagai wisata edukasi film. Lokasinya sering dijadikan tempat belajar sinematografi atau sekadar study tour. Selain itu, pengunjung umum juga bebas datang kok. Landmark-landmark kota tempo dulu menjadi pemikat pengunjung datang. Termasuk aku.
Ada kereta model jadul yang mengantar kita ke lokasi. Dengan berbekal tiket Rp35.000, kita bisa naik kereta, lalu masuk ke rumah Ainun dan rumah Nyai Ontosoroh atau rumah Annelis. Banyak spot foto estetik di sini. Keren banget deh.
Yang lucunya, saat aku mengajak Ria buat ke Studio Gamplong ini, dia belum menonton film Bumi Manusia, bahkan membaca novelnya pun belum. Aku sempat terkaget-kaget. Background pertemanan kami dimulai sejak SMA saat kami sama-sama mulai membaca karya sastra. Ria adalah tipe orang yang melahap banyak buku sekaligus demi bisa memberinya inspirasi untuk menulis. Speciality-nya adalah puisi, sementara aku hanya penulis cerita pendek.
Lalu kami berpisah saat kuliah S1, tapi yang mengejutkan adalah kami sama-sama mengambil jurusan yang sama. Hanya kampusnya yang berbeda, terpisah jauh malah. Kami sama-sama mengenyam pendidikan Sastra Indonesia. Bagiku, novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer ini adalah bacaan wajib anak Sastra. Kupikir sama saja dengan Ria. Jadi nggak salah dong aku menyangka kami masih satu frekuensi, mengetahui universe Minke dan Nyai Ontosoroh. Karena itulah aku mengajak Ria datang ke studio ini.
Namun, ternyata, Ria benar-benar tidak tahu tentang universe Nyai Ontosoroh dan dunia per-nyai-an di Bumi Manusia. Aku sempat tertawa. Ternyata walaupun kami kuliah di jurusan yang sama, tetap saja varian bacaan wajib dikembalikan ke kampus masing-masing. Apa yang kubaca, belum tentu dibaca oleh Ria. Begitu juga sebaliknya. Jadilah aku sedikit bercerita tentang lokasi-lokasi masa lampau di ranah imajinasi Pramoedya yang terukir di Studio Gamplong ini. Tentu saja ini versi Hanung Bramantyo ya selaku sutradara film Bumi Manusia. Seru juga mengingat kembali jejak-jejak petualangan bacaan masa kuliahku di sini.
Akhirnya, pulang dari Studio Alam Gamplong yang membuat sahabatku ini terkagum-kagum, Ria mencari filmnya dan menonton Bumi Manusia. Ada satu lagi PR yang belum, baca bukunya ya Ria. Karena banyak hal yang tertulis tidak terejawantahkan di film. Seseru itu Bumi Manusia merekam zaman.
Agrowisata Bhumi Merapi
Sekarang banyak sekali ya tempat-tempat ala Santorini atau ala Eropa gitu buat dijadikan daya tarik. Begitu juga dengan Agrowisata Bhumi Merapi. Namanya agrowisata, artinya kan tempat wisata yang berhubungan dengan kebun atau bercocok tanam. Agrowisata Bhumi Merapi sebenarnya taman wisata edukasi anak buat berinteraksi dengan alam, seperti berkebun, menjumpai tanaman-tanaman, hewan-hewan, serta bisa buat berkuda. Namun, Bhumi Merapi ternyata nggak mau pusat edukasi itu sebatas itu aja. Dibangunlah Langlang Buana, pojok-pojok estetik berupa miniatur negara-negara Eropa dan Timur Tengah.
Entah kenapa, suatu hari Ria mengajakku ke sini. Lokasinya di kawasan Kaliurang, setengah perjalanan menuju wisata Merapi. Suatu siang yang terik sekali. Aku juga sudah melihat review tempat ini dan beberapa postingan teman tentang tempat ini.
Aku pikir pojok estetiknya biasa aja, tapi ternyata area Langlang Buana menurutku menjadi highlight-nya. Bukan lagi agrowisatanya. Orang taunya Bhumi Merapi ya Santorini-nya Jogja atau Arab Street-nya Jogja. Lokasinya cukup besar dengan dekorasi-dekorasi jalanan menyerupai suasana jalanan di negara yang ditiru. Ada Arab Street, rumah hobbit, Desa Alpen di Swiss, Baker Street London, benteng peninggalan masa Reinassance di Eropa, Santorini Yunani, Turki, dan Venice. Semua didekorasi dengan apik. Nggak asal-asalan.
Kalau datang ke sini, siapkan waktu yang panjang ya. Selain spot Langlang Buana yang rame, jadi harus sabar menunggu buat dapat spot foto agak clear, ada pojok-pojok makanan serta restoran yang adem. Harga tiket masuk ke Bhumi Merapi Rp35.000/orang.
Kira-kira, kalau ke Jogja lagi, tempat mana lagi yang seru untuk dikunjungi?
Studio Gamplong foto-fotonya keren banget, kayak di jaman kolonial
BalasHapus