Ketika menyebut nama Way Kambas, aku langsung teringat gajah. Lampung terkenal dengan gajahnya. Pusatnya itu, ya, di Way Kambas. Ternyata di dalam agenda kunjunganku ke Lampung Timur bulan Maret lalu, Taman Nasional Way Kambas masuk ke dalam agenda pelesiran para blogger. Akhirnya aku bisa main-main sama gajah. Asyik.
|
Bersama Pak Pawang yang setia menemani kami. (photo by eviindrawanto.com) |
Taman Nasional Way Kambas berlokasi di Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur. Kalau dilihat di Google Maps, wilayah Way Kambas ini cukup luas dan memang melingkupi hampir keseluruhan wilayah lampung Timur. Di sanalah habitat terbesar gajah sumatera. Tak heran pula, hutan tersebut dijadikan taman nasional dan pusat latihan gajah yang mulai dibuka sejak tahun 1985. Kini, namanya berganti menjadi Pusat Konservasi Gajah Way Kambas. Di sanalah gajah-gajah dilatih dan dijinakkan, sekaligus dilindungi dan dikembangbiakkan.
Populasi gajah sumatera kini mulai berkurang akibat banyaknya terjadi perambah di sekitar hutan. Kata seorang penduduk desa budaya Braja Harjosari di Lampung Timur yang menjamu kami sebelum bertolak ke Way Kambas, gajah-gajah liar di hutan mulai resah dan sering masuk desa. Mereka juga jadi hama sawah sehingga meresahkan petani. Banyak yang akhirnya memburu gajah. Sementara orang dari pusat konservasi mengecam penduduk sekitar yang merusak hutan dan akhirnya membuat gajah ketakutan. Serba salah, ya. Oleh sebab itu, Desa Braja Harjosari yang berlokasi sangat dekat dengan Hutan Way Kambas dijadikan penyangga perbatasan demi pemberdayaan gajah-gajah sumatera.
Usai makan siang, kami menjelang gerbang Taman Nasional Way Kambas. Jauh juga ya ternyata dari pusat kota. Kontur jalanannya cukup memabukkan. Dari gerbang utama, aku praktis kehilangan sinyal ponsel. Selamat datang di belantara.
|
Sampai di gerbang Pusat Konservasi Gajah. |
|
Monyet-monyet yang turun ke jalan, minta makanan. (photo by raiyani.net) |
Jalan beraspal masih panjang untuk disusuri. Kami melaju masuk lebih jauh ke dalam hutan. Sesekali kami disambut oleh monyet-monyet berekor panjang yang berserak di jalanan. Mereka bagian dari hutan tersebut. Pokoknya kalau kamu masuk ke Way Kambas dan sudah bertemu dengan monyet-monyet ini, artinya kamu sudah setengah jalan menuju Pusat Konservasi Gajah. Oiya, di sini juga ada tempat pembudidayaan badak bercula satu, tapi tak dibuka untuk umum. Kalau mau lihat badak, ya, di Ujung Kulon saja. Di sini kebetulan populasinya ada dan sangat dilindungi. Lembaga pengelolanya dipegang oleh lembaga swasta, International Rhino Foundation. Untuk mengunjungi badak butuh surat izin resmi dalam lembaga peneliti atau semacamnya. Jadi, mari kita fokus ke tujuan semula, mengunjungi gajah.
Tak beberapa lama kemudian, akhirnya aku sampai ke sebuah padang luas yang panas. Ada sungai lebar dengan satu jembatan yang dapat dilalui satu mobil. Di sinilah rumah para gajah. Sesiangan itu gajah sedang membentuk kelompok-kelompok kecil. Mereka berdiri saja di padang rumput. Ada yang kakinya dirantai, ada pula yang tidak. Aku melihat berkeliling, gajah mana yang bisa kami dekati. Di sini terlihat padang savana, asrama gajah yang berupa padang rumput juga, serta gedung rumah sakit gajah.
Ada satu anak gajah yang punya belalai pendek sedang dirantai di samping sebuah pohon. Kupikir karena masih kecil, belalainya masih pendek. Rupanya, gajah ini cacat. Belalainya putus saat ketemu perambah di hutan. Kata Pak Sukowiyono, pawang gajah yang kami temui, gajah kecil ini tak sengaja tersesat di hutan dan ketemu perambah hingga belalainya putus. Dia bukan dari pusat konservasi, masih terbilang gajah liar. Oleh sebab itu, gajah kecil itu diselamatkan, dibawa ke pusat konservasi, dan dilatih. Seketika aku kasihan pada anak gajah itu. Bagaimana, ya, masa depannya?
|
Anak gajah yang belalainya putus. (photo by raiyani.net) |
|
Ssst. Jangan dekat-dekat tanpa pawang. |
Berikutnya aku bertemu seekor gajah jantan yang kurus besar. Gajah ini sedang bermain dengan kubangan. Kakinya dirantai karena bagian dari pelatihan untuk penjinakan gajah. Kami bisa mengambil gambarnya dengan jarak tertentu. Hati-hati, kalau dekat gajah, jangan pernah membuat mereka kaget. Jangan pula berisik. Bisa-bisa kita disembur dengan lumpur oleh belalainya. Om Yopie sempat disundul oleh si gajah jantan ini karena si gajah kaget didekati sedemikian banyak orang.
Untuk berfoto bersama gajah, kamu harus meminta jasa sang pawang. Bukan apa-apa. Tak semua gajah di Pusat Konservasi Way Kambas ini sudah jinak dan terlatih. Jadi kita harus tetap waspada. Mendekatkan diri dengan gajah saja butuh waktu, tidak bisa sehari-dua hari. Makanya, pawang sangat dibutuhkan demi keamanan pengunjung dan gajah itu sendiri.
Pak Sukowiyono mengajak kami berkeliling. Katanya ada gajah yang bisa diajak foto. Namanya Rahmi, si gajah betina. Rupanya Rahmi sedang bersantai dengan April, anaknya dan Mela. Rahmi sudah cukup terlatih, sementara April belum. Namun, tingkah polah keduanya lucu sekali.
|
Rahmi, April, dan Mela. (Photo by raiyani.net) |
Rahmi menyapa kami dengan balalainya. Rupanya dia senang memainkan belalai. Dia bisa disuruh duduk agar pengunjung dapat mendekatinya tanpa canggung. Setiap gerakan diaba-abakan oleh pawang, Rahmi mendapat satu buah pisang yang langsung dimasukkan ke mulutnya. Rahmi seketika menggoyang-goyangkan kepalanya. Kata Pak Pawang, dia sedang joget. Atraksi kecil-kecilan yang dilakukan oleh Rahmi cukup menghibur kami. Andai dia bisa bicara, entah apa yang akan diucapkannya.
Melihat perhatian kami terpusat pada Rahmi, April tak mau kalah. Dia sering menyongsong kami dengan menyorongkan belalainya. April meminta makanan. Sempat beberapa kali diusir oleh Pak Sukowiyono karena April sendiri masih digolongkan berbahaya. Ia suka tiba-tiba ada di belakangku, di sisi kiri induknya, atau malah melerai kerumunan kami. April tak mau pergi meski sudah diusir. Mana ada sih bayi gajah yang masih menyusui itu mau jauh-jauh dari induknya? Akhirnya aku meminta pisang kepada Pak Pawang dan memberikannya kepada April dengan takut-takut.
Aku sempat menyentuh kulit Rahmi dan April yang kasar. Pasir-pasir bekas lumpur yang mengering menyelubungi kulitnya. Gajah-gajah ini akan digiring ke tempat pemandian saat sore menjelang. Pada jam-jam itulah gajah berendam dan membersihkan diri. Ya, bersih ala gajah, ya. Yang penting segar.
|
April yang curi perhatian. (photo by www.indahnyaperjalanan.com) |
|
Bermain dengan April. (Photo by raiyani.net) |
|
Tempat gajah mandi. |
Sayangnya kunjungan kami tak sampai sore sehingga tidak dapat melihat gajah-gajah itu mandi di sungai. Kami mengucapkan salam perpisahan dengan Rahmi, April, dan Mela yang sedari tadi tampak cuek. Walaupun singkat, kunjungan ini berkesan, setidaknya untukku. Populasi gajah sumatera semakin langka. Pengembangbiakkannya pun cukup lama. Gajah mengandung selama 22 bulan. Waktu yang sangat lama untuk menaikkan populasi mereka. April sendiri baru berusia satu tahun pada bulan April ini. Selamat ulang tahun, April. Semoga kamu jadi gajah yang baik, jinak, dan terlindungi dengan baik. Sampai bertemu lagi.
belum pernah kesini lihat gajah gajah . semoga bisa mampir deh nanti
BalasHapusAyo ke sana biar gajah-gajah itu senang kita kunjungi. Pawangnya ramah-ramah kok.
HapusAh gemesss banget gajahnya terlihat seperti sedang tersenyum diajak main :)
BalasHapusGemes ya. Langsung jatuh cinta sama gajah-gajah ini.
Hapuswahhhh keren ia bisa main ke waykambas ....
BalasHapusaku kepingin bisa main-main sama Gajah juga nih .... Lucu Lucu
Berarti kamu harus coba berkunjung ke Waykambas. :)
HapusGajahnya kalau masih kecil lucunya. Kalau udah besar dikit ga bisa disenggol, langsung bales colek pakai gading. hahahaha
BalasHapusHahahaha. Pernah mengalami dicolek gading ya Om?
Hapus