Film Sokola Rimba: Ketemu Suku Pedalaman dari Jambi

Sokola Rimba (sumber poster dari sini)
Sokola Rimba diangkat menjadi film oleh Miles Production. Dengan setting di hutan Rimba, Jambi, film ini memaparkan sebuah suku primitif, Rimba. Mira Lesmana selaku produser dan Riri Riza sebagai penulis skenario merangkap sutradara langsung mengikutsertakan anak-anak Rimba untuk membintangi film ini bersama Prisia Nasution.

Film ini membawa kita masuk ke pedalaman Rimba, Jambi, Sumatera bagian selatan. Butet Manurung (Prisia Nasution) dengan sabar mengajarkan anak-anak Rimba untuk membaca dan menulis. Untuk menuju ke pedalaman saja, perjuangan luar biasa. Apalagi untuk berinteraksi dan bernegosiasi dengan suku pedalaman itu.

Melalui film ini, kita berkenalan dengan anak-anak Rimba yang memiliki muka tanpa ekspresi dan tak berbaju. Begitulah orang suku itu hidup. Mereka masih sangat memuja alam sebagai tempat tinggal mereka.

Film Sokola Rimba sekilas mengingatkan kita pada film Miles Production yang mengangkat tata kehidupan daerah, seperti Laskar Pelangi dan film pendek Atambua 39 Derajat Celcius


Kearifan lokal menjadi suatu hal yang ditonjolkan di dalam film. Lengkap sudah, jika Belitung dan Atambua dieksplorasi sebelumnya, kini beralih ke Rimba. Miles Production tampaknya mau menjelajah Indonesia untuk mengangkat berbagai kearifan di dalamnya. Dan.... mereka berhasil.


Film ini sangat menarik. Sebenarnya dari awal saya mencari-cari, apa yang bisa diambil untuk kesan baik menonton film ini. Akhirnya saya temukan di paruh terakhir film, yaitu pohon madu. Sepanjang film yang didominasi musik alam alias suara berbagai binatang dan gesekan tumbuhan ini, Sokola Rimba bernada serius. Lihat saja pemain anak Rimba yang mukanya begitu polos. Mereka sukses memerankan diri sendiri. Memang itulah yang ingin diperlihatkan kepada penonton, kepolosan dan keprimitifan. Lalu, saat tengah asyik mengikuti alur perjalanan Rimba, kita dibawa tinggi melihat sebuah pohon tua dan raksasa. Saya terkagum dengan penataan kamera menyorot jauh hutan Rimba. Akhinya terlihat satu-satunya pohon pencakar langit, yang dengan angkuh berdiri di tengah hutan. Pohon tanpa dahan itu konon jadi pohon yang sudah sangat tua. Orang-orang Rimba percaya ada sebuah harapan dari pohon itu.


Bungo, salah satu anak Rimba menceritakan kisah mengenai mitos pohon yang tinggi itu. Layar bioskop berubah menjadi animasi perjalanan orang Rimba menantang maut mengambil madu di pohon madu. Mulanya saya agak terganggu dengan perubahan gambar menjadi animasi. Tapi, mitos yang diceritakan dengan polos itu memang mestinya digambarkan polos juga. Saya pun menjadi terhibur dan tertawa.


Orang-orang Rimba sangat percaya dengan hadiah dan kutukan. Pohon Madu ini menjadi simbolnya. Pohon tertinggi dan di Taman Nasional ini dianggap pohon pengharapan. Untuk mencapai puncaknya dan mengambil madu di atasnya dibutuhkan orang yang benar-benar siap dari fisik dan mentalnya. Saat memanjat pohon hampir disamakan dengan sebuah perjalanan panjang, penuh godaan, tekanan, dan tantangan. Dan saat ada pemanjat yang terjatuh dan pastinya langsung meninggal, mayatnya sudah tak perlu dikuburkan lagi karena jasad sudah menancap dan menyatu di tanah yang dalam.

Kalau menurut teman saya dari sebuah media online menulis pohon itu erat kaitannya dengan memohon. Lalu saya ingin menambahkan, madu yang tersimpan di sarang lebah di atas erat kaitannya dengan harta dan surga. Madu adalah sumber energi dan rasanya manis, surga bagi orang-orang Rimba. Tapi sayang, dirusak orang-orang yang mengaku hidup modern.


Dari pohon, pindah ke misi Butet Manurung. Butet ingin memasukkan ilmu pengetahuan untuk senjata si anak-anak Rimba. Yap, tagline "Pengetahuan adalah senjata" menjadi kata-kata yang selalu didengungkan oleh Butet.


Tapi saat bergesekan langsung ke pola pemikiran orang Rimba yang sulit diubah, tagline itu pada akhirnya berubah menjadi "Pengetahuan pada akhirnya menjadi sebuah kutukan" karena orang Rimba sangat mempercayai segala bentuk kutukan. Begitulah cara berpikir. Bagi orang modern, kita mengenal reward dan punishment. Orang Rimba sudah lebih dulu menerapkan itu berabad-abad dalam bentuk jamuan dan kutukan. Hanya bahasa dan makna yang berubah. Tapi pertanyaannya, mengapa kita tidak bisa tinggal berdampingan?!


Film Sokola Rimba berkata lewat gambar. Kesan dramatis tertutupi dengan kepolosan anak-anak Rimba. Film ini sangat baik buat ditonton. Film ini memang film cerita, ada tegangan tapi jangan harap ada penyelesaian, karena sampai kini memang belum ada yang bisa memecahkan apa yang di dalamnya.

Komentar

Popular Posts