Sudden Journey: Hiking to Cibeureum Waterfall on Rainy Season







Kadang, sesuatu yang tak direncanakan itu justru terlaksana dengan baik--dan tentu saja lebih mengasyikkan.

Baru saja, weekend di awal Februari 2015 meninggalkan kisah manis. Hujan yang mengguyur Jakarta tak berhenti hingga memasuki Februari. Luapan dingin merasuki hingga Sabtu pagi. Aku menggelung di selimut ketika itu. Tak ada planning apa pun, dan tak ingin melakukan kegiatan di luar rumah.

Namun, tiba-tiba saja, seorang teman menghubungi. Ia sedang frustrasi dengan sebuah project yang sedang kami garap bersama. Lalu terlintas ide untuk nongkrong bareng di sebuah cafe yang sudah menjadi markas pertemuan kami. Yap, kami berkumpul sore itu. Tanpa ada rencana apa-apa, tanpa ada obrolan penting yang harus dibicarakan. Tapi tentu kami ke sana tidak dengan tangan kosong. Selalu ada hal yang bisa dijadikan topik. And you know, berat topiknya. Entah itu tentang project tulisan berikutnya, brainstorming ide cerita, sharing buku bagus dan film bagus, hingga membicarakan beban hidup (yang ini paling berat). Yeah, ngobrol dengan sesama penulis memang begitu adanya.

Topik yang berat-berat itu kemudian ditutup dengan ajakan touring ke Curug Cibeureum. Ini masih berat, Ya Tuhan. Kenapa? Karena ini musim hujan. Temanku satu ini memang ajaib. Namanya Indra. Bisa dibilang dia kepala komplotan menulis kami (Penunggu Puncak Ancala). Ini musim hujan, perjalanan itu akan dilakukan esok paginya, touring pakai motor ke puncak di bawah guyuran hujan sungguh mustahil.

Tapi...tapi...susah menolak ajakan teman yang satu itu. Alasannya cukup masuk akal, dia ingin mencari udara segar, lebih tepatnya melarikan diri dari banjir Jakarta, mengetes fisiknya untuk hiking lagi. Ide bagus sebenarnya karena aku pun sudah lama tak hiking. Mungkin sudah satu tahun lebih. Ajakan ini menggoda sekali, apalagi setelah Juned mengiyakan berangkat dengan motor bysonnya.

Oke, Deal! (Dealing itu terjadi pukul 11 malam dan kami masih berada di Coffeelife Cafe).



Pagi-pagi buta, gerimis rindu menggelayut. Dengan terpaksa, aku berberes dan siap berangkat ke meeting point yang telah disepakati. Meski gerimis, kami tetap semangat. Semangat menunggu satu orang lagi yang masih-harus-mengalami-konflik-batin-akan-berangkat-atau-tidak. Ya, Dea namanya. Butuh 3 jam buat meyakinkannya berangkat pagi itu. Entah kenapa, ini saat-saat menunggu yang paling tidak membosankan. Karena melihat gerimis di sebuah sevel pagi-pagi sekali membuat mata ini terbuai. Bengong itu sungguh asyik. Bahkan rasanya ingin berlama-lama saja duduk di teras itu memandangi hujan.

Let's go!!!
Kami pun berangkat lewat Parung. Mulanya gerimis, lalu kering, lalu gerimis lagi, dan akhirnya hujan deras saat kami melewati Puncak Pass. Tapi tenang, jas hujan sudah disiapkan. Pokoknya hepi, nggak boleh ada yang stres dalam perjalanan ini.



3 jam perjalanan, kami pun mendarat di sebuah warung makan Mang Idi. Ini sudah memasuki gerbang Kebun Raya Cibodas. Hore, sampai juga akhirnya. Dan hujan pun sudah reda. Kami makan siang bersama untuk mengisi energi. Setelah berbenah dan stamina sudah terkumpul kembali, pelan-pelan kami berjalan ke arah Taman Nasional Gede-Pangrango. Step by step, mengatur napas, memantapkan langkah, dan kami pun menaiki jalanan setapak yang basah dan licin.



Ini ketiga kalinya aku ke Curug Cibeureum. Pertama, bersama teman-teman alumni SMA. Kedua, bersama teman-teman kampus setelah turun dari Gunung Gede. Dan, kali ini ketiga, bersama dengan teman-teman penulis. Tentu setiap kunjungan, rasanya berbeda.


Namanya uji fisik, tepat sekali dilakukan dingin-dingin seperti ini. Aku sempat merasakan kepala yang berat karena pengaruh penyesuaian dengan udara di ketinggian. Oksigen mulai menipis, Saudara-Saudara. Namun, semua teratasi. Yang penting atur napas dan atur langkah.


Kami adalah rombongan terakhir yang naik. Iyalah, sudah pukul 16.00 saat kami masih di sepertiga jalan. Sementara orang-orang berbondong-bondong turun, kami baru melangkah. Tapi tak apa, toh treknya juga jelas, kok. Kami sempat mampir di telaga biru, telaga tersembunyi di perjalanan menuju curug. Dulu sih, telaga ini beneran biru. Kali ini bentuknya agak tak terawat. Menatap telaga sore-sore temaram seperti saat itu sungguh mendamaikan hati. Airnya tenang dan dikelilingi pohon-pohon liar.


Kami lanjut berjalan tanpa istirahat dan sempat diguyur rintik hujan. Kabut turun dan kian pekat. Hingga akhirnya sampailah kami di Curug Cibeureum. Rasa lelah pun hilang.

Dingin. Percikan air curug sungguh membuat badan menggigil. Kami tak bisa lama-lama di sana karena tidak mempersiapkan senter untuk perjalanan gelap. Yap, sudah menjelang magrib. Kami harus turun. Penerangan hanya mengandalkan lampu ponsel, berharap tak ada hewan buas melintas.

Yeah, perjalanan penuh kabut, tanah basah, rintik hujan ini memang menjadi kisah manis penutup minggu. Kami sampai di Jakarta lagi pukul 12 malam. Dan harus sudah berada di kantor pagi harinya. Melelahkan, tapi hati bahagia.














Terima kasih partner sudden journey-ku : Indra, Dea, dan tentu saja Junisatya.

Komentar

Posting Komentar

Popular Posts