Pendakian Gunung Anak Krakatau: Dari Prasejarah, Sejarah, Hingga Masa Depan

Masih lanjutan cerita tentang Lampung Festival Krakatau 2017, nih. Semoga kamu belum bosan, ya.

Jadi, saat kami bermalam di Pulau Sebesi yang berlokasi di tengah Selat Sunda, selepas magrib, semua peserta Tur Krakatau berkumpul di aula terbuka yang akses langsung ke pantai. Ada jamuan makan malam dan ramah tamah oleh perwakilan Dinas Pariwisata Provinsi Lampung dan tuan rumah Desa Sebesi. Acara dibuka dengan sederhana oleh tari-tarian daerah Lampung yang bertema riang gembira. Asap barbeque menggoda kami di sela-sela penampilan tarian dari para gadis Lampung nan elok itu. Rupanya ikan bakar telah matang. Menu prasmanan juga sudah disiapkan di bagian kiri dan kanan panggung. Tinggal menunggu acara ramah-tamah selesai, lalu kami siap santap makan malam.

Dalam rangkaian ramah tamah ini diputar juga sebuah film dokumenter tentang tragedi letusan Gunung Krakatau sekitar 2 abad silam. FYI, Gunung Krakatau itu meletus 2 kali yang menggemparkan hampir seluruh dunia. Letusan pertama terjadi ratusan ribu tahun yang lalu. Kita nggak tahu persisnya kapan karena berada di zaman prasejarah. Hanya sisa-sisa kaldera Krakatau yang dapat membuktikan bahwa Krakatau merupakan puncak gunung api yang menjulang tinggi dulu sekali. Pada saat itu dipastikan gempa dan tsunami terjadi, tidak hanya di Nusantara, tetapi juga di belahan dunia lain. Konon, letusan itu yang menyebabkan Pulau Sumatera dan Pulau Jawa terpisah. Saat pemutaran film dokumenter, aku undur diri dari huru-hara dan euforia Gunung Krakatau. Nanti saja bicara sejarahnya. Kami di-brief untuk siap berangkat pukul 3 dini hari. Artinya, aku hanya punya waktu beberapa jam untuk istirahat. Gunung Anak Krakatau menunggu.

Lampung Krakatau Festival 2017
Senang sekali akhirnya menginjakkan kaki di Anak Krakatau. (Photo by salmanbiroe.com)

Tepat pukul 3 pagi, aku dan teman-teman sesama blogger cewek yang sekamar berjalan gelap-gelapan ke dermaga. Ternyata di sana para lelaki juga sudah berkumpul dengan muka bantal. Karena melibatkan banyak kepala, sulit bagi panitia untuk sweeping dari satu cottage ke cottage lain yang lokasinya berjauhan. Lalu pembagian kapal juga masih agak susah karena gelap dan sebagian orang masih mengantuk. Jadilah kapal baru bisa lepas landas pukul 4 lewat. Niat untuk melihat sunrise di puncak Gunung Anak Krakatau pupus sudah. Aku memanfaatkan waktu di kapal untuk hibernasi lagi. Ombak dan angin pagi rupanya lebih kencang daripada siang hari. Lumayan untuk pengantar lelap, serasa di atas ayunan di Pulau Sebesi.

Dua jam kemudian, kapal merapat di Pulau Anak Krakatau. Akhirnya sampai juga. Aku meninggalkan ransel di kapal dan hanya membawa tas kecil yang berisi dompet, kamera, ponsel, dan minuman. Pendakian ke atas tentu tidak akan terlalu panjang karena ketinggiannya hanya berkisar 450 meter. Aku menapaki pasir pantai yang hitam sisa erupsi yang lumayan rutin terjadi di anak gunung yang aktif itu. Kata Bapak yang berjaga di pusat konservasi cagar alam, Gunung Anak Krakatau baru saja 'batuk-batuk' beberapa hari sebelum kami tiba di sana. Sisa-sisa longsoran lahar bisa terlihat di atas sana dan masih berasap di beberapa bagian. Wah, beruntung sekali kami diizinkan naik hari itu. Malam sebelumnya, panitia dan peserta sempat cekcok lantaran pembatalan pendakian. Kami cuma akan diajak memutar di kawasan pulau Gugusan Krakatau dan melihat puncak Anak Krakatau dari kapal. Hah, ide siapa itu? Dan, siapa pula yang mengatakan kalau Gunung Anak Krakatau sedang siaga 1? Karena beberapa pihak protes dan beberapa peserta yang sudah niat sekali ingin menapaki Gunung Anak Krakatau tampak kecewa, pihak kepala desa Sebesi menengahi dan memberi izin untuk melakukan pendakian pagi hari.

Lampung Krakatau Festival 2017
Kapal merapat di Pulau Anak Krakatau. (Photo by salmanbiroe.com)

Rangkaian Lampung Festival Krakatau 2017
Foto bersama dulu dengan teman-teman blogger sebelum mendaki.

Rangkaian Lampung Krakatau Festival 2017
Begini trek awalnya.

Lampung Krakatau Festival 2017
Hati-hati, pijakan pasirnya menipu, bisa longsor seketika.

Sebelum menanjak berjamaah, panitia membagikan bekal sarapan. Kemudian tim konservasi cagar alam memberi instruksi sebelum penanjakan, tentang rute yang dilalui, hal yang dapat dilakukan dan tidak boleh dilakukan, serta durasi perjalanan. Kami hanya diberi waktu 2 jam untuk menanjak dan turun kembali. Maka, berbondong-bondonglah semua peserta Tur Krakatau menembus sekelebat hutan sebelum menemukan gundukan pasir hitam yang menjulang di depan. Ya, inilah kawasan Gunung Anak Krakatau.

Lereng Gunung Anak Krakatau sungguh terjal dan ditutupi pasir. Ini yang namanya hiking tanpa bonus (jalanan datar). Kami harus berjuang terus menanjak hingga teras gunung. Kami hanya diizinkan mendaki sampai 'teras' gunung Anak Krakatau. Mungkin dulu ini puncaknya. Tapi karena aktivitas vulkaniknya, gundukan pasir sisa erupsi menebal.Masih ada beberapa meter lagi ke puncak, tapi memang bukan untuk ditapaki manusia. Sisa erupsi masih segar dan berasap. Gundukan longsoran pasir meski mulai mengeras, tapi berbahaya untuk diinjak. Bisa-bisa longsor hingga permukaan laut.

Lampung Festival Krakatau 2017
Muka bahagia para blogger sampai di Gunung Anak Krakatau.
Selagi berjalan menapaki lereng, ada pemandangan lain yang tidak kalah hebat. Jika di depanku menjulang puncak gunung Anak Krakatau, di seberang lereng gunung ini, aku melihat segitiga lain yang terpisah oleh lautan. Apakah segitiga itu termasuk gunung juga? Ya, namanya Gunung Rakata, bagian dari puncak Krakatau purba. Di sekelilingnya, lautan luas membentang yang merupakan perpaduan Selat Sunda dan Samudera Hindia. Tak jauh di sebelahnya, ada sebuah pulau lagi yang tampak memanjang yang juga merupakan bagian dari Krakatau Purba. Pulau itu disebut Pulau Panjang. Ada satu lagi sebenarnya tapi berada di balik Gunung Anak Krakatau yang sedang kudaki ini. Namanya Pulau Sertung.

Tiga pulau ini berkaitan erat dengan Gunung Anak Krakatau. Pada masa prasejarah, artinya belum ada umat manusia yang menuliskan kisah tentang Krakatu purba, Krakatau punya satu puncak berbentuk kerucut yang disebut Krakatau Besar. Sebuah letusan besar terjadi yang menenggelamkan hingga 2/3 bagian Krakatau. Krakatau itu menyisakan 3 pulau, yaitu Rakata, Panjang dan Sertung. Dari sisa lava di kaldera Pulau Rakata, muncullah dua pulau vulkanik yang perlahan tapi pasti meninggi, namanya Pulau Danan dan Perbuatan. Nah, dari 3 puncak yang aktif, Rakata, Danan, dan Perbuatan, kamu bisa menebak, kan, mana gunung yang meletus kedua kali sekitar tahun 1883 dan menjadi cikal bakal Gunung Anak Krakatau? Lihat saja namanya, kamu akan tahu siapa yang berbuat.

Yes, puncak gunung Perbuatan meletus 2 abad silam yang membuat Pulau Danan ikut hancur dan mengikis hampir separuh badan Gunung Rakata dan Sertung. Kamu bisa melihat skema letusannya di pusat konservasi cagar alam Krakatau. Letusan itu mengakibatkan terdapatnya celah besar seperti cawan di antara 3 pulau, Rakata, Panjang, dan Sertung. Seakan tak terpisahkan, ya. Dimulai dari 3 pulau bersaudara hasil letusan Krakatau Purba, lalu muncul anak pulau yang meletus lagi dan membuat 3 pulau tua itu kembali berhadapan. Mereka seakan berjaga, apakah ada lagi sisa lava yang mencuat di tengah-tengah mereka. Dan, benar.

Lampung Krakatau Festival 2017
Sisa-sisa erupsi beberapa hari sebelum menginjakkan kaki di Anak Krakatau. (Photo by salmanbiroe.com)

Lampung Krakatau Festival 2017
Ini dia puncak Anak Krakatau.

Lampung Krakatau Festival 2017
Pulau Panjang dari arah matahari terbit.
Lampung Krakatau Festival 2017
Gunung Rakata.

Kemunculan Pulau Anak Krakatau tak serta merta instan. Kegiatan vulkanik di dasar laut dari nadi Krakatau Purba rupanya tak pernah padam, khususnya terperhatikan dari tahun 1927-1929. Sejak saat itu mencuat sebuah kawah di permukaan laut hasil erupsi, persis di tengah 3 pulau vulkanik tua. Kawah itu terus meninggi dari tahun ke tahun yang kini dapat kita lihat dan kita daki, Gunung Anak Krakatau. Setiap tahun, ketinggian anak gunung ini bertambah sekitar 4 cm di atas permukaan laut. Dipastikan ketinggian Gunung Anak Krakatau akan menjulang lebih tinggi dalam tahun-tahun ke depan karena erupsi masih terjadi secara rutin. Ini bagian yang sedikit membuatku merinding. Jika dulu sekali disebutkan bahwa ketinggian Gunung Krakatau itu 800 mdpl lalu meletus, butuh berapa tahun lagi kita bersiap dengan letusan berikutnya dari si anak gunung? Hal itu sudah diprediksi oleh bagian vulkanologi, mengingat aktivitas Gunung Anak Krakatau terbilang aktif.

Aku turun gunung dengan perasaan campur aduk. Meski hanya trekking singkat biasa, pendakian kali ini bermakna banyak. Gunung ini adalah bagian dari sejarah dunia, yang memecah belah pulau, memberi renggang pada lempeng bumi, dan mengubah suhu global. Tidak salah jika kawasan Krakatoa dijadikan World Site Heritage, tidak sekadar cagar alam nasional biasa. Pendakian ini juga bagian dari pendakian historical. Alam banyak memberikan bukti-bukti kemegahan mereka. Tinggal kita yang harus menghargai keberadaan alam itu sendiri. Berdiri di Gunung Anak Krakatau memberiku pojok renungan tentang hubungan yang purba dengan masa depan. Selalu, setiap turun gunung, aku selalu punya pojok renungan semacam itu, yang khusus kali itu, aku bawa bersama angin laut dalam pelayaran 4 jam kembali ke Dermaga BOM Kalianda, Lampung Selatan.

Mendaki gunung di tengah laut punya cerita sendiri bagiku, sejarahnya, alamnya, dan dampaknya.

Lokasi Gunung Anak Krakatau

Komentar

  1. Wah. Ada foto aku yg itu. Mau!
    Bagiiiii fotonyaaaaa

    BalasHapus
  2. Wangi ikan bakar y lewat jadi laper.. Hehee

    Eh jam 3 kurang aku sama yg lainnya sudah jalan dong dari Homestay ke Dermaga dan itu nyawanya belum kumpul semua.

    Gn.Anak Krakatau selalu punya cerita

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mau lagi naik Gn Anak Krakatau. Tapi pake speedboat boleh gak? Huhuhuh

      Hapus
  3. Belum punya kesempatan ke krakatau, tapi pasirnya ga panas kan kak? Bisa bahaya kalo trekking kesana tiba tiba nginjak pasir terus sepatunya leleh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo Kak ke Anak Krakatau, mumpung masih dibuka untuk umum. Hehehe. Kalau bisa sih pendakiannya pagi. Belum terlalu panas. Tapi ga sampai meleleh kok, masih terkendali selama ga nginjak magma atau lava dari kawah gunungnya. :))

      Hapus

Posting Komentar

Popular Posts