Jelajah Sumbawa, Perjalanan Penuh Drama, Nyasar, dan Ditinggal Kapal

Rasanya sudah lama aku tidak bercerita tentang Sumbawa. Kebetulan, aku lagi iseng melihat-lihat folder traveling tahun sebelumnya. Efek PSBB dan Covid-19 memang bikin siklus hidup berubah drastis. Aku skip semua rencana perjalanan tahun ini. Jadi, kalau kangen traveling, aku tinggal lihat file foto dan video di laptop.
Ingatanku jadi terbang jauh saat menjelajah tanah Sumbawa pada musim kemarau 2 tahun lalu. Ada beberapa part yang belum aku tulis di blog ini rupanya tentang trip Sumbawa yang memorable itu bagiku.


Baiklah, setelah kamu baca 3 episode Jelajah Sumbawa dari link di atas, aku mau cerita episode berikutnya dari perjalanan Sumbawa kami. Ya, inilah kisah lanjutan aku dan geng travelingku yang personelnya cuma 4 orang.

Jelajah Sumbawa yang Penuh Drama
Menyeberang dari Pulau Kenawa ke Pelabuhan Poto Tano naik speedboat.

Kalau kamu mengikuti ke semua episode Jelajah Sumbawa sebelumnya, tentu kamu tahu dan paham sejumlah drama yang kuceritakan di beberapa tempat itu. Mulai dari drama gempa Lombok tepat 3 hari sebelum berangkat dan nyaris cancel tiket pesawat, drama nyari angkutan ke Bukit Mantar, dan diakhiri dengan drama gempa susulan di Pulau Kenawa yang tak berpenghuni. Drama itu tentu saja belum selesai, ya teman-teman. Masih ada sejumlah drama setelahnya yang kuceritakan di sini.

Sungguh, perjalanan yang tampak indah-indah beredar di foto Instagram tak seperti kelihatannya. Ada detail yang tak terceritakan di balik foto traveling yang indah-indah itu. Iya, sesungguhnya perjalanan itu nggak luput dari drama.

Setelah bermalam di Pulau Kenawa yang berangin kencang, aku kembali ke pelabuhan Poto Tano. Karena 2 hari tidak mandi dan terakhir menyentuh air saat berenang-renang di pantai Pulau Kenawa, tentu saja badan ini lepek sekali. Sembari duduk dan jajan di salah satu warung di pelabuhan, dua temanku sibuk menanyakan kamar mandi yang bisa dipakai di sekitar sana. Ada toilet yang bisa dipakai untuk mandi tapi pintunya digembok dan harus menunggu air dinyalakan dulu. Sembari menunggu dua temanku yang ingin sekali mandi itu, aku menyeduh Indomie sembari menanyakan rute perjalanan kami selanjutnya.

Jelajah Sumbawa yang Penuh Drama - jurnaland.com
Pulau Kenawa yang indahnya nggak ada obat.

Jejalah Sumbawa yang Penuh Drama 2 - jurnaland.com
Kembali lagi ke Pelabuhan Poto Tano.

Kami akan melanjutkan perjalanan ke Sumbawa Besar yang berjarak 2 jam perjalanan. Seorang bapak memberitahu kami untuk naik bus biasa saja. Ongkosnya Rp30.000 per orang. Karena perjalanannya 3 jam, bus sempat berhenti di warung es kelapa muda. Jadilah aku mencicip es kelapa muda ala Sumbawa, dicampur perasan jeruk nipis. Enak, deh. Lain kali kamu harus coba ya. Rasanya lebih mantap dan makin segar. Ternyata untuk ukuran bus perjalanan jauh antar kota begini, mereka memang selalu berhenti di pinggir jalan yang ada orang jual camilan.

Kernet bus bertanya padaku, mau berhenti di mana? Aku nggak yakin apa namanya pelabuhannya. Aku hanya bilang ingin turun di pelabuhan tempat kapal yang bisa mengantar ke Pulau Moyo. Karena di beberapa web dan blog, ada 2 pelabuhan berbeda yang menyediakan kapal untuk ke Pulau Moyo. Tujuanku adalah pelabuhan ikan dan naik kapal publik yang memang bolak-balik sehari sekali ke Pulau Moyo. Kernet bus menyarankanku untuk turun di pelabuhan Badas.

Kami pun turun di Pelabuhan Badas, Sumbawa Besar. Sepi sekali. Dengan menenteng-nenteng tas ransel yang cukup berat karena berisi pakaian serta tenda, kami berjalan beriringan ke dalam pelabuhan. Ada petugas berseragam militer memperhatikan kami. Aku mulai kebingungan. Kenapa pelabuhan ini sepi sekali? Aku bertanya ke petugas berseragam itu.

Dan....

Ternyata....

Kami salah pelabuhan. Ini adalah pelabuhan privat yang mengantarkan tamu khusus ke Pulau Moyo. Ya, tamu yang berlayar dengan menyewa 1 kapal pesiar tentunya. Si petugas itu memberitahuku bahwa seharusnya kami turun di Pelabuhan Muara Kali. Di sanalah pelabuhan yang menyediakan kapal publik untuk ke Pulau Moyo.

"Tapi, di sini sepi sekali. Tidak ada angkutan ke sana dan saya tidak bisa mengantar kalian, Kak. Kami mohon maaf."

Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Kami saling melirik satu sama lain menyimpan senyum. Begitu keluar pelabuhan, aku pun tertawa lepas karena kebodohan kami yang percaya dengan kernet bus. Sialnya, kami harus menunggu bus berikutnya yang lewat di tempat sepi itu.

Jelajah Sumbawa yang Penuh Drama 6- jurnaland.com
Naik bus dari Poto Tano ke Sumbawa Besar 2 jam.

Jejalah Sumbawa yang Penuh Drama 3 - jurnaland.com
Inilah alasanku mau bersusah-susah ke Pulau Moyo: Kolam Air Mata Jitu.

Kami terlalu banyak drama hari sebelumnya, jadi drama tersesat ini jadi hal sangat biasa. Beruntung, sesaat kemudian, ada sebuah angkot lewat. Sepertinya angkot ini sedang tidak menarik penumpang. Tapi aku menyetop angkot tersebut. Ada sopir angkot dan kernetnya. Mereka menyilakan kami naik dan berniat mengantar langsung ke pelabuhan Muara Kali. Berapa ongkosnya? Cuma Rp10.000 per orang. Baik sekali ya abang-abang Sumbawa ini.

Dengan semangat menghirup bau laut, aku dan teman-teman berjalan ke arah dermaga. Beberapa kapal tampak bersandar di sana.

Ada beberapa orang laki-laki berbadan kekar dan berkulit cokelat menghampiri kami. Salah satunya bapak-bapak gondrong bercelana pendek. Dia bertanya padaku, "Mau ke mana, Dek?"

"Kami mau naik kapal publik ke Pulau Moyo, Pak."
"Wah, kapalnya baru berangkat setengah jam lalu."

Aku langsung mendesah kecewa. Kapal berikutnya yang menyeberang ke Pulau Moyo baru ada lagi besok pagi, seperti dugaan dan informasi yang kami dapatkan sebelumnya. Sekarang aku benar-benar kehabisan akal. Kami sudah menyewa homestay di Pulau Moyo. Terpaksa harus dibatalkan.

"Kalau adek mau, kalian menginap di rumah saya saja. Nanti saya carikan kapal yang bisa disewa untuk berangkat besok pagi. Lebih enak karena kapalnya antar-jemput. Bisa disewa seharian. Ndak usah sungkan sama saya," tawar si bapak gondrong yang berambut blonde itu.

Temanku Ry agak waswas. Dia berdiri menjauh karena agak ngeri dengan gaya si bapak pelabuhan ini. Dia tidak gampang percaya dengan orang begitu saja. Junisatya mencoba tawar-menawar dengan si bapak sementara aku berkomunikasi lewat chat group dengan yang lain.

Setelah berdiskusi sebentar, akhirnya kami ikut si bapak ini. Pak Borix namanya. Dia mengajak kami ke rumahnya. Sepertinya rumahnya memang sering dijadikan tempat menginap para travelers. Pak Borix bilang kami cukup membayar biaya listrik saja. Jadilah kami berikan beliau uang Rp50.000. Sementara itu Pak Borix mencarikan kapal sewa untuk besok pagi.

Pak Borix menyediakan 1 angkot yang bisa kami pakai bebas untuk berkeliling kota Sumbawa Besar. Ternyata beliau baik sekali lho. Malam harinya beliau mengajak kami makan dengan ikan bakar yang baru ditangkap di laut. Percayalah, masakan istrinya enak sekali. Dan, kabar bahagianya, kami mendapat kapal khusus yang bisa disewa seharian untuk besok pagi. Kami cukup membayar Rp600.000 untuk sewa kapal yang total Rp1.400.000. Ssst, kami terbantu oleh pasangan muda dari Swiss yang juga ingin sharing kapal dengan kami. Mereka membayar Rp800.000. Yeay, rezeki anak soleh dan soleha. Hehehe.

Jejalah Sumbawa yang Penuh Drama 5 - jurnaland.com
Jalan-jalan sore ke rumah tradisional Sumbawa.

Jejalah Sumbawa yang Penuh Drama 6 - jurnaland.com
Muka lelah nyasar dan ditinggal kapal, tapi dibawa happy. :)

Jejalah Sumbawa yang Penuh Drama 4 - jurnaland.com
Berfoto di depan rumah Pak Borix.

Begitulah, selepas makan malam, kami diajak berkeliling kampung nelayan, duduk di warung pinggir laut sambil minum bandrek dan es jeruk. Pak Borix senang sekali berkelakar. Dia ternyata sudah terbiasa membawa tamu mancanegara untuk keliling Lombok dan Sumbawa. Katanya, kalau ke Sumbawa lagi, jangan segan hubungi dia. Rumahnya terbuka untukku dan teman-teman.

Rasanya malam itu benar-benar lelah dan mengantuk. Suara kelakar Pak Borix seakan meninabobokanku hingga aku tertidur di meja warung itu. Rasanya amat tenang berada di sini. Ini yang membuatku merasa bahagia berada di tengah orang-orang ramah dalam sebuah perjalanan. Ada banyak sekali hal yang tidak kita temukan di rutinitas sehari-hari. Salah satunya, kelakar Pak Borix yang baik hati ini.

Aku seperti merindu kesederhanaan yang membuat semua orang bahagia di kampung nelayan Muara Kali. Mereka nggak butuh banyak hal. Dari sanalah aku belajar bersyukur.

Cerita tentang Pulau Moyo aku tulis di post berikutnya, ya. :)

Komentar

  1. Perjalanan yg seru abis nim, coba deh sesekLi travelling ke flores biar tau gimana sensasinya travelling di flores. Pasti bakalan lebih banyak drama 😆

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular Posts