Peradaban Awal di Old Tbilisi Wall, Georgia

Mengunjungi kota bernama Tbilisi jauh dari list impianku. Tapi Tuhan menjawab semua harapanku tentang mengarungi belahan dunia yang punya sejarah hebat. Lalu aku sampai di Kota Tbilisi, Georgia bertepatan dengan pertengahan Ramadhan tahun ini. Aku bertekad untuk melanjutkan puasa sampai akhir Ramadhan di kota ini. Tbilisi salah satu kota hebat yang menarik perhatian. "Tbili" artinya "warm atau hangat" dalam bahasa Rusia-Georgia. Sejarah awalnya itu saat King Vakhtang Gorgasali menemukan sumber mata air panas belerang dekat saat ia merambah hutan mengejar seekor burung. Lalu dinamakanlah kota itu Tbilisi. Vakhtang adalah Raja Iberia, Georgia Timur (Kartli) yang sempat berperang melawan Iran. Sejarah panjang perjuangannya di persekutuan Kekaisaran Bizantium (polemik sejarah Timur Tengah sana) dan melawan Sasanian Iran, menjadikan King Vakhtang sebagai tokoh paling populer dalam sejarah Georgia pada Abad Pertengahan. Karena beliau yang memberi nama pada Kota Tbilisi, ia disebut sebagai Founding Father kota yang disebut juga City of Hot Spring itu. Nggak salah ketika Tbilisi mengabadikan kisah heroik King Vakhtang Gorgasali dalam bentuk Monumen King Vakhtang Gorgasali.

Peradaban awal di Old Tbilisi Wall Georgia
Old Tbilisi Wall Georgia, bentuk peradaban lama di lereng bukit Sololaki.

Monument of King Vakhtang Gorgasali

Saat berjalan-jalan di pusat kota Tbilisi, aku berhenti di salah satu bundaran besar dengan satu bangunan gereja dan patung orang berkuda di tepian Sungai Kura (sungai besar yang membelah Tbilisi). Rupanya itu itulah King Vakhtang yang termahsyur di depan gereja bernama Metekhi Church. Ini adalah lokasi pertama tempat King Vakhtang mendirikan kerajaannya dan menjadikan Tbilisi sebagai ibukotanya. Tidak tanggung-tanggung, nama jalan besar di sepanjang pinggiran sungai besar yang membelah Tbilisi itu dinamakan Vakhtang Gorgasali Street. Sebegitu cinta masyarakat Tbilisi padanya dan sebegitu besar penghargaan mereka terhadap sejarah.

Old Tbilisi Wall Georgia
Bundaran Tbilisi menuju Old Tbilisi Wall.

King Vakhtang Gorgasali Tbilisi
Di depan monumen King Vakhtang Gorgasali dan Gereja Metekhi.

Saat berada di Jembatan Metekhi, aku memandang sisa-sisa kebesaran sejarah Tbilisi. Ternyata Tbilisi negara yang sangat menghargai warisan budaya. Di balik pesatnya bangunan modern, kota ini menyisakan satu lokasi yang menjembatani negeri modern dengan sisa-sisa kejayaan peradaban masa dulu. Lewat Jembatan Metekhi yang persis berada di bawah Metekhi Church dan Monumen Vakhtang Gorgasali, kita dapat melihat kemegahannya yang lain, Old Tbilisi Wall.

Ya, dinding. Sebuah peradaban yang tumbuh di lereng bukit di depan Sungai Kura. Rumah-rumah tradisional Tbilisi bersusun di lereng bukit ini. Itulah sebabnya dinamakan Tbilisi Wall. Tbilisi Wall menjadi landmark Kota Tbilisi dengan kontur daratan yang berbukit-bukit.

Beberapa gadis Georgia yang menemaniku berjalan hari itu hendak mengajak kami ke puncak bukit untuk melihat pemandangan Kota Tbilisi dari atas. Ada dua alternatif cara mencapai puncak bukit itu. Pertama, dengan menggunakan cable car dengan tarif 7 Lari (mata uang Georgia, 1 Lari = Rp6.500,-). Namun, karena hari itu antrean cable car lumayan panjang padahal bukan hari libur nasional, kami pindah ke alternatif kedua, yaitu jalan kaki. Yes, sepertinya aku memang harus berjuang untuk mencapai bukit itu seperti perjuangan berdarah-darah King Vakhtang. #Lebay

Eh, tapi kan aku sedang puasa dan puasa di sana berdurasi 18 jam, apalagi saat itu memasuki musim panas. Aku juga sedang mengenakan ankle boots 9 cm karena baru pulang presentasi di workshop Folk Dance and Music Perkhuli Tbilisi 2017 bersama gadis-gadis penari cantik Georgia. Mereka pula yang memberikan ide mengajak kami berjalan-jalan di kota sesiangan itu. Membayangkan aku trekking di bawah terik dan mengenakan ankle boots ini... mari kita lihat sampai kapan aku bertahan.


National Botanical Garden of Georgia
Selepas melewati jembatan Metekhi, menyeberangi Sungai Kura, jalan mulai menanjak. Aku melewati beberapa pertokoan, kafe, dan hotel bergaya tradisional Georgia. Perlahan-lahan keramaian memudar ketika kami terus berjalan mendaki. Kami memasuki komplek rumah-rumah tradisional Georgia. Kondisinya masih sangat bagus dan terawat. Rumah-rumahnya banyak terdiri dari rumah panggung, mirip dengan gaya rumah tradisional kita. Bedanya, rumah-rumah mereka dibuat lebih banyak lorong dan atapnya lebih rendah untuk menangkal angin musim dingin masuk. Unik-unik, ya. Ada rumah yang masih dihuni, ada rumah yang disewakan sebagai hostel atau guesthouse, ada yang dijadikan toko wine, kafe, dan semacamnya. Aku terus berjalan.

Old Tbilisi Wall
Tbilisi Wall, peradaban di lereng bukit.

Old Tbilisi Wall
Bentuk-bentuk rumah tradisional.

Berada di Botanical Garden Georgia.

Jalan setapak bercabang dan tidak datar. Sedikit agak ke atas, kami sampai di gerbang National Botanical Garden of Georgia, meninggalkan kawasan permukiman penduduk. National Botanical Garden ini merupakan taman nasional dan menjadi salah satu objek wisata di Tbilisi. Kami dikenai tiket masuk sebesar 2 Lari per orang. Mulanya aku hendak mengantre di ticket box, tetapi Elene, yang resmi menjadi foreign-friend-ku mulai hari itu, sempat menahanku. Katanya beberapa teman kami dari India belum memiliki mata uang lokal. Kami sempat batal masuk. Namun, Elene dan seorang temannya Anuki memberi jalan tengah. Dia memintaku menukarkan uang Lari ke teman-teman India. Mereka akan menggantinya dengan mata uang mereka. Lalu Elene bilang, aku tak perlu membayar tiket lagi untuk 1 tim dari Indonesia. Mungkin semua di-cover sama teman-teman India. Masya Allah, berkah puasa.

Kami berjalan dengan riang memasuki Botanical Garden. Sebenarnya aku sendiri tidak tahu apa yang mesti dilihat di hutan lindung ini karena bentuknya tidak jauh berbeda dengan hutan hujan tropis di negara sendiri. Hanya bedanya, ya, Botanical Garden yang ini lebih tertata rapi. Lokasi yang tepat untuk short escape bagi orang Tbilisi. Rupanya perjuangan jalan kaki ke puncak bukit tidak sampai di sini. Botanical Garden ini adalah jalur alternatif untuk menuju puncak bukit. Tapi lebih dulu, aku melipir ke jalan menurun menuju sebuah air terjun. Aku sempat takjub juga, sih. Di Botanical Garden seperti ini terdapat air terjun meski dalam ukuran mini. Air terjun ini mengairi sebuah sungai kecil di antara Botanical Garden. Nanti tentunya akan bergabung ke Sungai Kura di pusat kota. Sungai Kura sendiri merupakan sungai panjang yang menghubungkan Turki, Georgia, dan Azerbaijan yang muaranya di Laut Kaspia.

Setelah jalan kaki cukup jauh dan panas, akhirnya aku bisa lihat yang adem-adem. Setidaknya aku bisa melepaskan sepatu tebal ini sejenak. Memang tidak banyak yang bisa dilakukan di pinggir sungai. Celup-celup kaki juga cukup.

Old Tbilisi Wall Georgia
Air terjun di Botanical Garden Georgia.

Old Tbilisi Wall Georgia
Bersama teman-teman cantik dari Georgia.

Air terjunnya terasa dingin tergerus angin musim semi yang mau berakhir. Segar sekali. Rasanya dahaga meronta-ronta ingin disiram pula. Tapi, dari Indonesia, aku sudah berniat untuk melanjutkan puasa meski traveling dan durasinya 6 jam lebih panjang. Begini rasanya. Asyik karena tak harus memikirkan camilan dan perut tak perlu meringis karena belum dapat makanan yang manis-manis.

Setelah istirahat sebentar di tepian air terjun, Elene dan Anuki mengajakku untuk kembali berjalan, kembali melewati tanjakan yang semakin curam saja. Panorama hijau Botanical Garden sungguh cantik. FYI, Botanical Garden ini punya trek yang mudah dijangkau. Tidak seperti jalan ke curug Cibeureum yang masih beralaskan tanah dan bebatuan. Meski tanjakan, jalan setapaknya sudah rapi dan disemen. Tidak ada semak liar atau tanah liat licin yang suram. Semua tanaman ditata, baik tanaman kecil, maupun pohon-pohon. Jalanan ini bersahabat untukku yang super-salah-kostum mengenakan baju formal putih, celana kulit hitam, dan ankle boots. Puasa pula.

Mother of Georgian Statue

Di bagian puncak bukit yang dinamakan Sololaki Hill, ada satu patung besar berwarna silver. Ke sanalah tujuan kami. Sebuah patung perempuan yang cukup besar dan terlihat dari tengah kota. Selain King Vakhtang Gorgasali, ada satu lagi tokoh sejarah penting di Tbilisi, Kartlis Deda alias Mother of Georgian. Teman Georgia kami bercerita pada kami bahwa Mother of Georgian ini semacam pahlawan perempuan yang rela mati demi menyelamatkan rakyatnya. Dia termasuk pejuang heroik perempuan di negara itu. Patung ini sengaja dibuat setinggi 20 meter dan diletakkan di puncak Sololaki Hill agar seluruh rakyat Georgia dapat melihat "ibu" mereka. Patung ini menarik. Mother of Georgian memegang 2 benda di tangannya. Ia mengenakan pakaian tradisional Georgia dengan memegang sebuah mangkok di tangan kiri yang merupakan simbol dari semangkuk wine untuk disuguhkan pada seorang teman yang berniat baik padanya. Lalu, di tangan kanan ia mengenggam sebilah pedang sebagai simbol waspada terhadap musuh. Begitulah simbol pejuang perempuan yang dikenang oleh rakyat Georgia. Rupanya Georgia tak perlu aksi emansipasi yang berlebihan, cukup dengan melihat ke arah patung Mother of Georgian ini, kita tahu bahwa posisi perempuan sama bagusnya dengan laki-laki.
Old Tbilisi Wall di belakang Mother of Georgian
Walaupun panas, jalan jauh, puasa, tetap happy.

Sebelah Mother of Georgian
Di sebelah Mother of Georgian.

FYI, Georgia adalah negeri penghasil wine terbesar di Eropa. Jadi, wine lumrah dijadikan welcome drink untuk menyambut tamu. Georgia juga punya kebun anggur, peach, burberry, strawberry, cherry, dan buah segar asam-manis menggiurkan.

Narikala Ancient Fortress

Dari patung Mother of Georgian, aku melihat Panorama Kota Tbilisi membentang. Dari pinggiran bukit Sololaki ini, ada tangga kembali ke komplek perumahan tua Tbilisi. Sepanjang tangga menurun itu, aku puas menatap panorama kota. Ada beberapa restoran di pinggiran bukit dengan teras yang mengarah ke panorama. Restoran itu memanggil-manggilku untuk duduk dan beristirahat. Tapi aku ditinggal rombongan. Jadi harus buru-buru. Tangga turunan itu melewati sisi sebuah kastil. Kastil ini juga bagian dari landmark Kota Tbilisi. Namanya Narikala Ancient Fortress yang sudah didirikan sejak abad ke-4. Konon, sejarah mencatat berbagai konflik dan perpindahan tangan kastil ini. Bani Umayyah dan Mongol pernah berada di sini dan merenovasi beberapa bagian. Rupanya ada jejak Islam yang kuat di kastil ini. Bangsa Mongol menyebutnya Narin Qala yang artinya Benteng Kecil. Tidak heran, di kawasan Old Tbilisi, aku melewati dua masjid dan beberapa orang mengenakan hijab.

Lokasi Narikala Fortress memang strategis. Bangunannya berada di lereng bukit yang menghadap ke Sungai Kura dan pusat Kota Tbilisi. Lokasinya memang pas dijadikan benteng pada zaman perang. Kini Narikala menjadi sebuah gereja orthodox. Sayang sekali aku tak sempat masuk ke dalam untuk melihat lukisan tentang Sejarah Georgia. Padahal seru juga kalau bisa melihat sejarah dari lukisan, apalagi masuknya gratis. Apa boleh buat, Elene sudah memanggil-manggilku untuk terus berjalan turun.

Old Tbilisi Wall di lereng bukit
Di depan Narikala Ancient Fortress.

Dari Narikala, jalanan mulai melingkar turun. Aku kembali ke susunan rumah-rumah kayu bergaya Georgia lama. Kami tidak kembali ke gerbang utama Botanical Garden. Ini akses jalan yang lain yang langsung menuju pusat kafe dan restoran. Tak beberapa menit berjalan, kami sudah sampai lagi di pinggir jalan Vakhtang Gorgasali. Elene membeli air mineral dingin untuk beberapa orang yang kehausan karena cuaca sungguh terik hari itu. Lagi-lagi aku hanya bisa menelan ludah.

Satu hari berkeliling Tbilisi Wall terasa cukup. Banyak sisa-sisa perjuangan yang membangun peradaban masa kini negara ini. What a beautiful day.

Ini pengalaman ter-"AHA"-moment-ku ketika menapaki satu sudut di Tbilisi, Georgia. Jalan tengah hari terik saat puasa memang membutuhkan perjuangan berat, apalagi bukan di rumah. Sebenarnya, begitu turun dari Botanical Garden, aku sudah sangat kelelahan dan dehidrasi hebat. Kulihat jam masih menunjukkan pukul 3 sore. Masih 6 jam lagi menuju buka puasa pukul 9 malam. Itu artinya puasa baru berjalan 12 jam. Kalau di Indonesia, tentu aku sudah bisa buka puasa. Sementara di Tbilisi saat berada di perpindahan musim semi ke panas, siang menjadi jauh lebih lama. Aku menimbang-nimbang kondisi tubuh. Besok masih ada agenda padat yang menunggu. Akhirnya di depan landmark kota Tbilisi, puasaku kalah. Aku berbuka dengan sebotol air mineral. Agak merasa bersalah memang. Namun, aku harus berpikir realistis juga, kan.

Mengingat momen itu, aku tidak menyesal. Aku bersyukur hidup di negara tropis yang punya waktu siang dan malam yang seimbang. Aku jadi jauh lebih bersyukur pernah merasakan puasa di tempat-tempat seperti ini, jauh dari rumah dan menjadi minoritas. Kenapa? Karena aku merasakan waktu demi waktu itu berharga. Siang sangat panjang diiringi dengan waktu tidur yang singkat karena malam cuma 6 jam. Jadwal Isya baru masuk pukul 11 malam. Lalu pukul 2 dini hari aku harus sahur karena pukul 3 sudah Subuh. Sahur menjadi kegiatan wajibku meski cuma makan serundeng, sambal dendeng, dan nasi putih (sengaja bawa dari Indonesia). Untungnya pemilik hotel tempat kami menginap sungguh baik menyiapkan makan malamku pukul 9 sementara jadwal makan malam di kafe hotel itu pukul 5-6 sore.

Hari-hari awal memang berat, tapi kemudian secara ajaib tubuhku mampu menyesuaikan. Aku tidak akan mau lagi menyia-nyiakan waktu yang berharga itu. Aku berada di Tbilisi sampai akhir Ramadhan. Aku merasakan waktuku cukup untuk melakukan banyak hal dalam satu hari meski puasa. Perjalanan memang jauh lebih melelahkan, tapi aku senang dapat menikmati proses itu jam demi jam (bukan sekadar hari demi hari lagi).

Old Tbilisi Wall Georgia
Meresapi Kota Tbilisi.

Jadi, pengalaman traveling itu akan jauh lebih indah saat kita menikmati prosesnya. Bukan sekadar melihat tempat, tapi juga melihat ke dalam diri sendiri. Ini tergantung bagaimana kita memaknai kemampuan otak menerima dan mengolah informasi, sudut pandang, kondisi tubuh, hingga interaksi dengan yang segala yang asing. Aku pun mencoba bernegosiasi. Dalam menit-menit dehidrasiku tengah hari saat menjalani puasa di Georgia, aku semakin berpikir bahwa traveling itu untuk mencari kebahagiaan. Entah itu saat perjalanan, atau pun saat pulang.

Tbilisi memang kota kecil. Sejak aku berada di sana, aku mulai memperbaiki list perjalananku. Aku mulai merunut lokasi-lokasi hebat lainnya untuk perjalananku berikutnya. Aku juga mencocokkan dengan jadwal penerbangan terbaik. Aku harus memperkirakan budget dengan destinasi. Seperti persiapan perjalanan ke Tbilisi ini, aku dan ibuku sudah merencanakannya 6 bulan sebelumnya karena memang dalam rangka mengikuti festival pertunjukan kebudayaan dunia. Melihat pengalaman itu, aku dipermudah dengan fitur pencarian tiket pesawat yang disediakan oleh Skyscanner. Aku tidak mau mencari tiket asal-asalan. Untung saja sebelum perjalanan ke Tbilisi, aku mengecek segala situs dan aplikasi dari Online Travel Agent (OTA), mencocokkan tanggal dan harga. Dari sana aku mengenal Skyscanner yang memberikan harga terbaik di bulan-bulan terbaik. Kamu mesti coba. Kamu bisa menjadwalkan perjalananmu melalui Skyscanner dan Skyscanner akan memilihkan jadwal penerbangan dengan harga paling murah.

Kok, bisa?

Iya, Skyscanner merupakan website dengan fitur keren yang dapat membandingkan harga tiket dari berbagai OTA lain. Kalau kamu bingung mau ke mana dan kapan (kan, suka ada orang yang hidupnya mendadak galau dan ingin terbang entah ke mana), Skyscanner pasti mengerti. Tulis saja kota asal, lalu biarkan kolom 'ke' terisi dengan "Mana saja". Gerakkan cursor ke jadwal berangkat, nanti ada pilihan tanggal tertentu dan kolom grafik sepanjang bulan.
Cari tiket pesawat murah di Skyscanner
Skyscanner punya grafik harga tiket maskapai untuk mempermudah kita menentukan jadwal perjalanan termurah.

Cari tiket pesawat murah di Skyscanner
Fitur Skyscanner yang paling diandalkan, nih.
Nah, kamu tinggal pilih asal untuk tahun depan. Nanti Skyscanner akan mendata semua tiket-tiket murah dan terbaik. Ada info harga juga kalau kita ingin informasi detail tentang tanggal-tanggal yang memuat harga promo. Seru, ya.

Kalau untuk perjalanan luar negeri, ada banyak maskapai dengan waktu transit beda-beda. Nah, untuk jadi smart traveler, jangan lupa cek tempat transit, durasi dan berapa kali transit. Ini penting agar agenda perjalananmu tidak berantakan. Skyscanner sudah memilihkan alternatif penerbangan berikut dengan akomodasinya, ada hotel dan penyewaan mobil juga. Kebetulan, karena puasa, aku memilih penerbangan malam (biar bisa makan terus selama di pesawat) dengan dua kali transit (Kuala Lumpur dan Istanbul) menggunakan Turkish Airlines.

Traveling ke Georgia dengan Skyscanner Indonesia
Traveling ke Georgia bulan puasa.



*Artikel ini mendapat ranking 6 dalam Skyscanner Indonesia Blog Competition 2017: "AHA" Moment Saat Travel. #AHASkyscanner, #SkyscannerIndonesia

Komentar

  1. Berapa kali transit kalau ke Georgia mb

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena aku terpisah rombongan (sebagian dari Padang), jadi kami bertemu di Kuala Lumpur. Bisa dibilang transit 2x, Kuala Lumpur dan Istanbul. Sebenarnya ada penerbangan yang hanya 1x transit ke Istanbul atau Moscow. :)

      Hapus
  2. Balasan
    1. Alhamdulillah. Nyusul dong Kak ...:))

      Hapus
    2. Saia mah cuma pengen jelajah seleuruh destinasi di Indonesia..
      Itu pun kalo umurnya cukup.. hehe

      Hapus
  3. Masukin ke daftar tujuan travelling ah

    BalasHapus
  4. Tblisi panas juga yaa ternyata. bagusan mana sama Jakarta??

    BalasHapus
  5. WOW...kece sekali ini...btw celana kulit dan boots heels nya gak nahan, macam lady rocker aku melihatnya...btw hasil jepretannya mengagumkan...clear dan apik. soal Tbilisi ternyata kece parah yaaa...ada nilai sejarah dan banyak view yang bikin betah berlama lama...kayaknya aku pingin juga kesana..amin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tuh, kan, kenapa harus dibahas boots dan celana kulit itu? Hahahaha.

      Hapus
  6. Indah nian Georgia ini. Mereka mempertahankan yang klasik disamping membangun kota yang baru sungguh perpaduan yang sempurna dari kota yang sudah memiliki sejarah yang panjang. Sekalipun mukanya menghadap ke arah modern tapi kakinya tetap menginjak hal yang klasik.

    Foto-fotonya Hanum keren banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah, Mba EVi bisa aja. Kebantu sama langit cerah banget waktu itu.

      Kalau lihat sejarahnya, ternyata Georgia punya masa lalu yang luar biasa.

      Hapus
  7. Nyebutnya aja dah keseleo yaa, tapi wajib di ucap biar bisa ketularan nyampe disini juga, asli buat mupeng. Thanks kisahnya yaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha. keseleo ya Mam? untungnya kaki aku ga ikut keseleo selama di sana. :))

      Hapus
  8. Sambil menelan ludah saya bacanya, ikutan haus, seneng banget baca pengalaman ini, apalagi kalau abis tulisan trus liat warna langit yg ada di foto, jadi teduh, nyaman gitu.

    Saya pribadi sejujurnya takut ke luar negeri pas puasa, tapi pengalaman di Georgia ini bikin saya termotivasi. Mungkin puasa tahun depan mau coba di negara lain, amin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seru kok puasa di negeri 4 musim. Lebih banyak bersyukur jadinya. :)

      Hapus
  9. kisahnnya panjang, tapi sarat banget penggambaran Georgianya ya, mbak :) Jadi ikutan penasaran. Classic mode on gituh :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyah Mba Prita. Ini baru sebagiannya aku explore. Banyak banget tempat keren di Georgia.

      Hapus
  10. Asyik banget sih jalan2 ke Georgia..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kamu juga asyik nanti jalan-jalan ke Labuan Bajo :)

      Hapus
  11. Berkat luar biasa banget ya bisa sampe ke Georgia.

    Jadi tahun depan puasa dimana nih mba? Azerbaijan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha. ah pengen deh ke Azerbaijan. Tapi mungkin ke Afrika kali ya. *gegayaan *mimpiajadulu :D

      Hapus
  12. Indahnya Georgia. Selain itu tempat bersejarahnya juga banyak. Dan aku baru tau disana terdapat jejak islam, zaman Bani Umayyah. Semoga aku juga bisa jalan ke Georgia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lokasinya diapit Turki dan Rusia, Mba. Tapi aku belum baca banyak tentang sejarah kota ini sih.

      Hapus
  13. Terima kasih ya sudah ikutan Blog Competition "Aha Moments" Skyscanner Indonesia. Good luck :)

    BalasHapus
  14. Keren banget, kak! Baru kali ini aku liat blogger nulis cerita soal negara sekelas Georgia. Udah gitu kamu ke sana juga bukan buat traveling doang ya, tapi ada misi kebudayaan. Keren bisa traveling sambil puasa di negara 4 musim, pengen cobain cable car-nya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasi Kak. *tersipu

      Aku juga mupeng naik cable car, tapi antreannya panjang. :(

      Hapus
  15. Gergeous Georgia, cantik banget negaranya. Semoga bisa sampai kesana juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Kalau ke Georgia, sekalian ke Azerbaijan dan Armenia. Deketan soalnya. Sayangnya aku gak sempat ke mana-mana karena tugas Negara. :))

      Hapus
  16. Cantik ya Georgia! Jarang-jarang liat tulisan tempat wisata anti-mainstream gini.

    Kalo pake paspor Indonesia kudu ngurus visa dulu gak kak kalo mau travelling ke Georgia? Terus negara tetangga yang wajib dikunjungi disekitarnya apa?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, aku ga nyangka negerinya secantik ini. Buat orang Indonesia untuk tujuan turis ke Georgia gampang banget kok ngurus visanya. Aku udah pernah nulis tentang pengurusan visa ke Georgia untuk WNI. Tapi itu di luar visa Europ ya. Kalau udah ada visa schg, malah lebih gampang. Negara tetangganya ada Armenia dan Alzerbaijan, sama Rusia dan Turki. Negara wajib kunjung semua Kak. :))

      Hapus
    2. Wah negara tetangganya bisa dikunjungi sekalian overland tour yah :D

      Cheers,
      Dee - heydeerahma.com

      Hapus
    3. Iya. Sayangnya aku gak sempat eksplor ke mana-mana waktu itu. Gak kepikiran buat extend. Sedih sih ternyata negerinya cakep banget.

      Hapus

Posting Komentar

Popular Posts