Dari Minum Jamu Anti Masuk Angin Sebungkus Berdua hingga Dikira TKW di Singapura

Aku paling gemas jika ada yang bilang, "Enak, ya, bisa jalan-jalan terus," atau "Uangnya nggak abis-abis, ya?"

Aku nggak tahu orang yang kerap menanyakan ini beneran pengin tahu atau sekadar sindiran halus, atau sirik terselubung, atau mengamini doa-doa di hatiku yang selalu ingin jalan. Satu hal yang mereka nggak tahu tentang perjalanan demi perjalanan yang kutempuh selama ini: tidak selamanya perjalanan itu identik dengan duit. Lalu aku teringat perjalananku 2 hari di Singapura. Kalau aku ceritakan tentang saat 2 hari itu, apakah kamu akan berhenti menyindirku berduit banyak (aamiin!) dan selalu hidup enak (aamiin!) lalu menghambur-hamburkannya untuk sesuatu yang nggak perlu-perlu amat? Karena tak selamanya perjalanan itu tentang yang enak-enak. Ada kisah pencarian diri, penenangan emosi, dan negosiasi sudut pandang yang sungguh itu tak mudah saat kita lagi di negeri orang. Dan, tidak selamanya perjalanan itu berarti foya-foya. Aku bersyukur di tengah zaman milenial ini, orang tak lagi menganggap jalan-jalan itu foya-foya, tetapi malah dianggap sebagai kebutuhan. Itulah alasan nomor 1 kenapa aku menyukai traveling. Kebutuhan. Yap.

Kali ini aku mau cerita tentang perjalananku di Singapura. Ini bukan tulisan tentang negeri singanya dan destinasi-destinasi yang aku kunjungi karena aku sudah pernah menulis tentang perjalanan ini sebelumnya. Nah, di sini aku mau cerita tentang kenapa aku memilih Singapura waktu itu yang cuma 2 hari dan nggak tahu mau ngapain di sana.

Baca kisahku : Alam Buatan versi Gardens by The Bay, Singapura

Singapura trip dari minum jamu anti masuk angin sebungkus berdua hingga disangka TKW


Backpacker ke Singapura
Ada cerita dari trip Singapura ini.

Tenang, aku nggak sendiri. Aku ditemani seorang teman sehati yang mau-maunya berangkat ke Singapura cuma buat numpang bobo dan pup. Namanya Avi. Ini kisah kami 3 tahun lalu dan sampai kini masih sering dibahas tentang ketololan-ketololan menyesakkan saat berada di sana.

Jadi, apa saja yang terjadi?

1. Kenapa memilih Singapura?

Sebenarnya ini bukan yang pertama kalinya aku ke Singapura. Begitu juga dengan Avi. Aku pernah ke Singapura pada zaman SMA, dikirim dari sekolah untuk mengikuti Singapore Youth Festival di Esplanade bertahun-tahun yang lalu. Macam anak muda inspiratif yang penuh karya ya waktu itu. Berbeda kisahnya saat aku ke Singapura lagi kali ini.

Jadi ceritanya aku sedang galau dengan tesis dan masalah percintaan (klasik). Lalu, aku punya teman Avi yang mungkin setengah evil kali, ya. Dia menyodorkan pilihan, "Num, kalau lo stres kita ke Singapura aja, yuk. Ada tiket promo, nih. Lumayan." FYI, si Avi ini juga lagi pengin jalan tapi nggak punya teman jalan. Dia sedang proses persiapan kuliah di London tapi beberapa kali gagal. Kisah cintanya juga waktu itu tidak bisa dibanggakan. Jadilah dia meracuniku dengan tiket promo. Dia padahal baru jalan-jalan ke Singapura bersama geng travelingnya yang lain setahun sebelumnya. Dia rela ke sana lagi demi menemaniku yang sedang galau dan hanya demi dia bisa meninggalkan Jakarta beberapa jam. Aku dan Avi memesan tiket promo Tiger Air pulang-pergi Singapura untuk 2 hari saja. Berangkat subuh dan pulang subuh dua hari kemudian. Oh iya, satu lagi, saat kami memesan tiket itu, aku belum gajian. Uang di tangan pas-pasan (derita karyawan yang lagi kuliah S2 dan ngekos bangetlah itu). Kami pun meminjam kartu kredit seorang teman yang sungguh amat percaya pada kami berdua. Berangkatlah kami ke Singapura selang sebulan kemudian.

2. Lari dari kantor

Karena jadwal penerbangan kami pada saat weekdays, aku terpaksa harus mencari alasan untuk kabur dari kantor. Alasannya masuk akal, sih. Aku mengajukan cuti 2 hari lantaran ada uji seminar tesis di kampus (yang sebenarnya gagal karena draf tesis belum di-approve). Pokoknya begitulah, ya. Aku gagal lulus semester itu, makanya aku mengiyakan ajakan Avi untuk melarikan diri dari kesedihan. Lupakan kantor, lupakan kuliah, lupakan cinta juga. Aku dan Avi sudah berada di bandara pagi-pagi buta.

3. Bawa bekal untuk 2 hari di Singapura

Oh iya, aku belum cerita tentang persiapan darurat menjelang berangkat ke Singapura. Sehari sebelumnya, aku ke money changer untuk menukarkan rupiah ke dolar Singapura yang cuma senilai 50 dolar singapura. Lalu, sepulang kantor, aku berkeliling mencari warung makan padang yang menjual dendeng kering. Aku membeli 2 potong dendeng yang ukurannya cukup lebar. Aku melengkapinya dengan 2 bungkus Indomie, 1 pak Tolak Ingin berisi 5 pcs,  dan 1 bungkus Chitato. Aku memasukkan semua bekal itu dalam 1 tas ransel dengan tambahan 1 kotak penuh nasi putih. Kenapa aku harus bawa bekal? Aku dan Avi sudah sepakat tidak akan jajan dan mampir restoran mana pun di Singapura. Cuma 2 hari, kok. Alasannya selain penghematan, biar jalan-jalannya afdhol tanpa harus menghabiskan waktu mampir buat makan. Bawa bekal pasti cukup untuk bertahan hidup di sana. Tapi bekal itu harus masuk dalam 1 ransel berisi pakaian. Jadi nggak perlu ada tentengan tambahan. Itulah syarat backpacking utama versi aku.

Avi pun membawa bekal yang serupa dengan 1 kotak bekal bihun goreng buatan ibunya, 1 bungkus Indomie, dan 1 bungkus Chitato dengan varian rasa berbeda. Wow, ternyata memang kami sehati. Menunya nggak janjian, lho. Aku deg-degan, gimana jadinya kalau bekal ini tidak cukup 2 hari? FYI lagi, aku cuma mengantongi 50 dolar singapura untuk kebutuhan transportasi, akomodasi, perjalanan wisata. Untuk keperluan tak terduga aku berniat menarik uang di ATM sana saja (sambil berdoa waktu itu semoga nggak ada kejadian tak terduga).

Backpacker ke Singapura
Sentosa Island.

3. Makan Sembunyi-sembunyi

Kamu tahu, kan, kalau Singapura itu negara paling rapi se-Asia Tenggara. Bahkan kerapian dan keteraturan setingkat di bawah negeri Swiss (sejauh yang aku tahu ya). Jadi, kami tidak bisa piknik sembarangan. Tapi bukan aku namanya kalau nggak kreatif mencari tempat makan darurat atas dorongan perut yang lapar. Hari pertama di Singapura mengharuskan kami bolak-balik naik MRT bandara Changi-China Town-Marina Bay. Tujuan kami adalah Garden by The Bay. Karena kami memesan segala tiket masuk wisata jauh hari sebelum berangkat, kami harus menukarkan voucher pemesanan di kantor travel agent-nya di China Town. Dengan ransel tersandang, sesiangan itu kami menempuh jarak berkilo-kilometer dengan beberapa kali transit stasiun. Itu juga pakai nyasar dulu di belantara China Town.

Wajar, kan, kalau perutku memanggil-manggil makanan. Gardens by The Bay menawarkan pemandangan cantik dan luas. Untung sepi hari itu. Ada danau-danau buatan di area depan begitu masuk. Aku melongok-longok lokasi pas untuk membuka wadah piknik kami. Akhirnya aku menemukan tempat tersuruk di sudut danau dan tertutupi dahan pohon. Aku sebelumnya sudah mengisi botol minum dengan air kran. Jadi tinggal gelar bekal makanan. Aku makan berdua dengan Avi: nasi plus dendeng dan bihun goreng. Kami makan seirit mungkin dan menyisakannya untuk makan malam. Alhamdulillah, kenyang kok dan aku siap untuk berkeliling di Gardens by The Bay, masuk ke Cloud Forest dan Flower Dome.

4. Perkara masuk angin di bawah Supertree Grove

Begitu keluar dari Cloud Forest, aku kedinginan dan hari sudah gelap. Sebagian baju jadi basah terkena percikan air terjun buatan di dalam dome Cloud Forest. Jadilah kami berdua masuk angin. Kaki pun mulai tak sanggup lagi berjalan. Tujuan akhir malam itu adalah menikmati lampu-lampu kota di Skyway yang masih berada di kawasan Gardens by The Bay. Rasanya ransel di punggung kami mulai berat karena ditarik gravitasi. Di bawah lampu-lampu Skyway yang gemerlap, kami terduduk di bangku-bangku taman sembari mengeringkan badan. Aku juga sempat merebahkan tubuh dengan beralaskan ransel sebagai bantal. Cuaca Singapura sungguh hangat malam itu. Bahkan kami berniat untuk bermalam di taman besar itu saja.  Avi tidak membawa bekal obat-obatan sama sekali. Jadilah bekal Tolak Angin yang kubawa jadi andalan kami berdua untuk segala penyakit dalam perjalanan. Malam di bawah lampu-lampu Supertree Grove menghapus lelah kami yang masuk angin. Tak lama, aku dan Avi mencari tempat yang tertutup bayangan untuk menggelar makan malam kami, menghabiskan sisa makanan tadi siang.

Baca juga : Flower Dome, Istana Megah Para Bunga

Backpacker ke Singapura
Menikmati lampu Skyway yang meriah sambil memijit kaki yang pegal.

Backpacker ke Singapura
Basah-basahan di Sentosa Island abis itu masuk angin.

5. Bermalam di hostel kapsul

Ini pengalaman pertama aku menginap di tempat tidur kapsul berukuran 2x1x1 m. Kami mengambil female room, bergabung dengan wisatawan cewek lain yang tidur seruangan. Tapi, sungguh hostelnya nyaman, cukup bisa membuang lelah kami mengarungi seperempat Singapura seharian. Aku mengerang karena punggung yang super pegal dan telapak kaki bengkak bin lecet karena berjalan kaki seharian. Jalan-jalan itu penuh warna, kan?

6. Sarapan sepuasnya lalu merebus Indomie untuk bekal hari ke-2

Hari kedua akan jadi hari yang melelahkan karena tujuan kami hari itu adalah Universal Studio Singapore. Untungnya sarapan sudah tersedia di hostel. Seduh sendiri dan cuci piring sendiri. Itu artinya kami juga bisa menyeduh Indomie untuk bekal hari itu. Begitu perut kenyang, makanan sudah aman di tas, kami pun check out hostel. Iya, langsung check out meski penerbangan pulang masih esok paginya. Itu artinya pula, kami ke Universal Studio masih dengan menenteng ransel kesayangan. Dari sana aku belajar untuk mandiri, jadi orang yang nggak ribet dan nggak merepotkan orang lain.

Backpacker ke Singapura
Hostel murah meriah yang menampung kami.

Backpacker ke Singapura
Persiapan bekal hari ke-2.

7. Di saat orang jajan hotdog, kami makan mi goreng dingin

Seharian di Universal Studio Singapore, kami tak lagi makan sembunyi-sembunyi. Tapi miris juga, sih. Di saat banyak jajanan di sana, kami memilih melipir, duduk di pinggiran jalan dengan membuka bekal yang telah dibuat di hostel, mi goreng andalan. Karena yang bawa kotak makan cuma aku, jadilah kami makan sepiring berdua. Syahdu sekali, kan. Nggak ada yang benar-benar memperhatikan kami. Hanya aku yang agak miris, di kiri-kanan orang makan hotdog dan burger, kami memilih makanan pengisi perut andalan semua orang Indonesia.

Baca ini : Universal Studio Singapore Tak Sekadar Wahana Bermain

8. Makan chiki irit kayak nyicil kartu kredit

Sebenarnya aku nggak terlalu suka ngemil apalagi chiki. Tapi kali ini chitato yang kubawa bukan lagi sekadar camilan, melainkan menu makanan primer. Saat perut sedikit lapar setelah menonton berbagai atraksi di USS dan memasuki semua wahananya, aku membuka bungkusan chiki kami. Mencamilnya sembari jalan dan menyimpan sisanya kembali. Jadi chiki itu tidak langsung dihabiskan. Siapa tahu nanti tengah malam lapar lagi. Makan chiki aja nyicil kayak bayar tagihan kartu kredit.

9. Menunggu jadwal MRT paling malam

Bermain di USS benar-benar menguras tenaga. Rasanya aku ingin memesan hostel lagi untuk istirahat. Tapi kami sudah memutuskan untuk menginap di Changi Airport biar nggak kesiangan ikut penerbangan pagi ke Jakarta. Sembari menunggu malam, aku dan Avi akhirnya menunggu saja di kawasan Sentosa Island. Udah nggak ada yang dilihat karena sebagian besar toko dan atraksi ditutup. Jadilah kami duduk-duduk santai di pinggir Resort World Sentosa, melihat kapal-kapal pesiar megah di perairan. Asli, buatku ini perjalanan paling lelah karena sepanjang hari menyandang ransel dan perjalanan paling sedih karena super irit, sesedih kisah tesisku yang gagal maju sidang serta kisah cintaku yang mengawang-awang.

Selelah-lelahnya badan, Avi ternyata lebih lelah. Dia sudah mulai nggak konsen melihat jalur peta MRT menuju Changi. Sekitar pukul 10 malam, kami memutuskan naik MRT terakhir dan harus berdebat membaca peta. Ada beberapa kali transit dan beberapa alternatif arah transit. Karena MRT ke Changi benar-benar terbatas, aku harus berpikir cepat memilih jalur tersingkat, menghitung menit-menit MRT yang lewat sehingga kami bisa tiba di Changi tepat waktu.

Baca lagi : Potret 'Life is Waiting' di Changi Airport

Backpacker ke Singapura
Avi dengan tas ransel andalan.

Backpacker ke Singapura
Bisa tidur di mana aja.

10. Minum Tolak Angin sebungkus berdua

Changi Airport punya fasilitas untuk para traveler istirahat. Tapi beda cerita dengan kami yang tiba malam itu. Kami tidak menemukan celah masuk ke kawasan hiburan Changi. Usut diusut ternyata kami harus check in dulu sementara loket check in Tiger Air sudah ditutup (3 tahun lalu belum ada web check in se-simple sekarang). Jadilah kami berputar-putar antar terminal naik skytrain mencari tempat paling nyaman untuk tidur. Apalagi AC Changi menyengat badan. Aku merasa sangat butuh minum yang hangat-hangat. Tolak Angin sisa 1 bungkus. Akhirnya aku rela berbagi dengan Avi. Belum pernah, kan, kamu minum Tolak Angin sebungkus berdua? Aku sendiri belum pernah. Ini demi kami nggak mati kedinginan malam itu. Kami mencari tempat salat, semua fasilitas bagus itu ada di area 'waiting area'. Sementara kami belum bisa masuk. Jadilah salat di lorong-lorong sepi dekat lift. Lalu tidur di bangku-bangku kayu sambil meringkuk kedinginan.

Rupanya Avi masih punya pundi-pundi receh. Aku mengucap syukur. Lewat tengah malam, setelah menghitung sisa pundi-pundi recehnya cukup untuk membeli 1 paket burger di McD, kami masuklah ke McD bandara. Tujuannya bukan buat makan, tapi buat tidur karena bangkunya terlihat lebih nyaman untuk tidur. 1 paket burger + kentang goreng menemani malam kami terdampar di bandara. Lalu dengan bantal berupa mukena dan menutupi kaki dengan ransel, kami meringkuk bersama para traveler lain di bangku-bangku McD.

11. Disangka TKW mau pulang kampung

Aku bahagia ketika pagi datang. Itu artinya loket check in sudah dibuka. Meski badan rasanya remuk semua, kami punya waktu 2 jam untuk tur Changi Airport antar terminal. Aku mencoba semua fasilitas Changi Airport sebagai terminal penerbangan terbaik se-Asia. Nggak pakai mandi. Mandinya pas udah sampai Jakarta saja. Begitu kataku pada Avi. Setelah puas menikmati fasilitas di Changi Airport, ada seorang ibu yang kebetulan orang Indonesia ikut berjalan dengan kami menuju gate. Kira-kira percakapannya begini:
Ibu : Mau pulang ke mana, dek?
Aku : Ke Jakarta.
Ibu : Kerja di daerah mana?
Aku : Di perusahaan swasta pokoknya.
Ibu : Oh. Ini dapat cuti berapa hari?
Aku : ???
Ibu : Saya pulang mau nengokin anak.
Aku : Oh begitu.
Ibu : Kamu balik lagi ke sini kapan?
Aku : (agak heran) Belum tau, Bu. Kan saya kerja juga.
Ibu : Oh, di Jakarta kerja juga. Bisa cuti lama gitu ya di sini?
Aku : ~!@#$%^&*()_+

Jadi kesimpulannya, ibu ini mengira aku TKW di Singapura dan sedang ambil cuti buat bisa pulang ke Jakarta. Oke sip.

Backpacker ke Singapura
Biar disangka TKW tapi tetap hepi.

12. Last Call dan Kehilangan Paspor

Berlari-lari karena last call di terminal Changi yang super besar ini beneran menjadi penutup kisah perjalanan kami di Singapura. Di gate yang dituju, perjalanan kami diakhiri dengan petugas yang meminta kami mengeluarkan paspor. Aku mengeluarkan pasporku dan boarding pass kami berdua, sementara Avi bahkan tidak tahu paspornya ada di mana. Dia hanya menyerahkan tentengan tas kepada petugas tanpa sadar. Dia pun tidak menjawab saat diintrogasi petugas. Seketika kemampuan bahasa Inggrisnya hilang begitu saja lantaran tenaganya overlimit. Avi hanya bengong dan pelanga-pelongo karena tubuhnya butuh waktu untuk mencerna bahwa paspornya hilang. Untungnya petugasnya tahu kalau pesawat kami sudah detik-detik berangkat. Kami dibiarkan berlari menuju kabin pesawat. Misteri paspor Avi terjawab begitu kami sampai di bangku kabin. Paspornya ada di tasku, tersimpan di sana usai kami check in.

Begitulah kisah 2 hariku di Singapura. Oh iya, itu belum sepenuhnya lengkap. Begitu sampai di Jakarta, aku nggak langsung pulang. Ingat, kan, aku izin kantornya cuma 2 hari. Itu artinya aku langsung ke kantor dari bandara. Tanpa mandi. Sekian.

Backpacker ke Singapura
Partner trip paling kece.

Sampai kini, Avi masih jadi partner traveling terbaikku. Friends who travel together, stay forever. Kisah percintaannya sudah terjawab di akhir tahun kemarin saat ia menikah dengan mantan teman kantornya. Lalu soal cerita studi di luar negeri pun diganti dengan lanjut S2 di UI dan sudah lulus dengan gelar cumlaude. What a year. Tuhan selalu punya rencana manis untuk kita. Saat aku mengakhiri seluruh kegalauan hati di tahun 2015, Avi meraih pencapaiannya di tahun 2017. Sejak 2 hari di Singapura itu, aku banyak belajar tentang negosiasi dengan keadaan.  Meski cuma Singapura, yang dilihat bukan destinasinya, melainkan bagaimana kami bisa menikmati proses perjalanan itu sendiri sebagai bentuk kontemplasi diri.

Jadi, di balik foto yang manis, ada kisah miris juga, lho.
 

Komentar

  1. Walah mbak ku ngakak bacanya, beneran bawa bekal mie goreng?wkwkwk
    Ku juga mau dong jd temenmu ke singapur cm numpang bobok dan pup, wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan tiru aku ya. Itu kegalauan masa kuliah. Sekarang gak mau lagi ah. :))

      Hapus
  2. Mauu aku beliiin tolak angi. Sekotak nggak ceu ? Syedddihh ih. Wkwkkw

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mauuuu. Lumayan buat stok, kalau ada jadwal traveling, aku nggak perlu beli lagi. hahahaha

      Hapus
  3. Seru tenan petualangannya di Singapore..

    Itu pasti kejadian-kejadiannya bakal keinget terus selamanya.. hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan sekadar diingat, tapi masih dibahas sampe sekarang. apalagi yang soal disangka TKW ituu. -___-

      Hapus
  4. Waaaah masyaAllah! Baca tulisan ini rasanya deg2an kayak orang sambil lari di mall, yang dikasih duit trus disuruh ngabisin dalam jangka waktu sekian menit. Piuh! Capek banget wkwkwk.

    Jadi inget bawa ransel 35L yang isinya penuh ngelilingin Gili Air demi nyari rumah teman. Ya Allah, rasanya mau nyerah tapi gakbisa. Dengan motivasi, 'kalau gue bisa tanpa istirahat, gue akan jadi cewek kece!' /apaan sih wkwkw/

    Short escape yang pasti memorable banget ya kak heheh xD

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular Posts