Jelajah Palembang, Ini List Wajibnya

Pagi-pagi buta, aku lagi-lagi ada di bandara. Sepertinya baru beberapa bulan lalu aku memantapkan diri untuk nggak mau ambil penerbangan pagi ke luar kota apalagi ke luar negeri. Tapi, sekali lagi aku melanggarnya. Pukul 5 subuh, aku sudah berada di boarding room sambil terkantuk-kantuk. Aku bertekad, begitu masuk pesawat, aku akan langsung tidur sampai pesawat mendarat di Palembang, karena hari itu dan beberapa hari ke depan, ada serangkaian agenda perjalanan yang harus dituntaskan. Jadwal padat merayap, yay.

Setiba di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, aku yang naik penerbangan sendiri ini janjian dengan seorang travel blogger sesama dari Jakarta juga, biar nggak sendirian mulu kayak anak hilang. Karena namanya Ogie--bahkan aku nggak tau dia ini cewek atau cowok, profil whatsapp-nya tak membantu mendeteksi sama sekali--jadilah aku celingak-celinguk menguatkan radar mencari teman. Akhirnya kami ketemu di Tourism Centre. Untungnya Ogie ini cowok, lumayan bisa direpotin bawain barang dan bonus difotoin sepanjang jalan. Kami lantas bergabung dengan beberapa media dan tour agent dari berbagai daerah dan negara. Semua peserta yang berkumpul pagi itu adalah rombongan pertama yang akan dibawa ke penginapan, sembari menunggu peserta lain datang. Kami semua akan ikut tur Musi and Beyond Travel Fair 2018 yang diadakan Dinas Pariwisata Kota Palembang, mengitari sejumlah Palembang heritage, mencicipi kuliner Palembang, dan masih akan bertemu dengan teman-teman travel blogger lainnya.
Jelajah Palembang
Ngapain aja aku selama di Palembang? Ini list kunjungan mengitari kota pempek itu.

1. Naik LRT


Jelajah Palembang (2)

Usai penyambutan di Tourism Centre bandara, aku dan peserta lain lanjut naik LRT dari Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II menuju stasiun Jakabaring. FYI, stasiun Jakabaring ini stasiun nomor 2 terakhir dari bandara. Ongkosnya Rp10.000. Kebetulan, pagi itu LRT tidak terlalu ramai. Aku sudah membayangkan betapa ribetnya geret-geret koper naik-turun kereta. Masih terkena sindrom naik KRL dari Depok-Jakarta pagi hari yang nggak pernah sepi. Lama perjalanan dari bandara ke stasiun Jakabaring sekitar 1 jam. Ku mengira lajunya akan secepat MRT di Singapura, ternyata belum selincah itu. So far, naik LRT di Palembang pagi itu cukup nyaman karena nggak perlu mpet-mpetan, perjalanan lancar, dan aku bisa puas melihat-lihat suasana Kota Palembang dari ujung ke ujung.

2. Kampung Atlet Jakabaring


Jelajah Palembang (3)

Jelajah Palembang (4)

Jelajah Palembang (5)

Jelajah Palembang (6)

Stasiun LRT Jakabaring nggak begitu jauh dari gerbang Jakabaring Sport City (JSC). Kamu tentu nggak asing kan dengan kawasan olahraga besar di Palembang ini? Ya iyalah, Jakabaring Sport City ini jadi lokasi Asian Games 2018 lalu dan sebagian besar atlet menginap di wisma atlet di kawasan ini. Nah, rupanya aku dan teman-teman ikutan menginap di wisma atlet JSC. Ini pertama kalinya aku menginap di wisma atlet yang satu kamarnya terdiri dari 4 tempat tidur yang masing-masing dilengkapi lemari dan  nakas. Ada pantry dan kamar mandi yang dibagi dalam 2 bilik dengan shower dan kloset dipisah. Serasa menjadi atlet beneran, kan. Oh iya, sayangnya wisma atlet ini nggak dilengkapi wifi dan televisi. Atlet memang harus fokus satu titik seperti lirik lagu Via Valen, nggak boleh keasyikan internetan dan nonton sinetron. Begitu juga dengan aku. Nggak boleh malas-malasan di kamar. Untungnya aku ketemu teman sesama blogger lagi di sana. Ada Melly dari Bogor dan Yuni dari Surabaya. Mereka datang ke Palembang melalui jalur darat. Formasi kami bertambah, jadi lebih seru untuk eksplor Kampung Atlet ini.

Ternyata beralasan sekali lokasi wisma atlet dinamakan Kampung Atlet Jakabaring atau Athlete Village. Area ini terdiri dari banyak gedung-gedung penginapan yang dapat menampung ribuan atlet dalam satu waktu. Di sebuah sudut Kampung Atlet ini terdapat danau mungil yang dipenuhi oleh bunga teratai yang tampak cantik pagi hari. Senang melihat embun yang masih menempel di dedaunannya saat aku berkeliling pagi dengan sepeda di area danau ini. Ada dangau-dangau sebagai tempat santai dan pohon-pohon rindang di sekitarnya. Dangau ini dilengkapi dengan colokan. Kalau punya waktu bersantai, aku bakalan memilih dangau ini sebagai tempat semedi mengerjakan beberapa konten yang harus diselesaikan. Sungguh quality time yang sehat.

3. Makan Pempek di Rumah Dinas Walikota Palembang

Cuaca Palembang memang susah ditebak. Bisa aja siang hari panas menyengat, lalu sorenya langsung mendung dan malamnya hujan. Malam itu kami diundang oleh Bapak Walikota Palembang untuk makan malam di rumah dinasnya. Tepat saat hujan rintik-rintik turun dan diikuti oleh angin kencang. Namun, tak menyurutkan semangat kami untuk bertandang ke sana karena sudah terlalu lapar. Dan, benar saja, setelah rangkaian acara ramah tamah dari protokoler walikota, sajian dibuka dengan pempek, menu makanan khas Palembang. Sudah dari awal sejak kedatanganku di Palembang, aku mengincar pempeknya: pempek lenjer, pempek adaan, pempek pistel, pempek kulit, dan pempek keriting. Aku diajarkan cara ternikmat makan pempek ala orang Palembang. Pempek disediakan dalam mangkok mini, gigit terlebih dahulu pempeknya dan seruput kuah cukonya. Rasa ikan dan cuko akan menyatu di lidah. Bikin aku pengen nambah terus. Tapi...karena menu pempek di rumah dinas jadi favorit semua undangan, jadi nggak heran langsung habis dalam seketika. Aku nggak kebagian jatah tambahan. Sabar, hari-hari di Palembang masih panjang.

4. Gelora Sriwijaya

Esok harinya, saat formasi travel blogger kian lengkap (ada Mia, Doel dari Jakarta, Mami Rai dari Bogor, Awie dari Makassar, Vika dari Surabaya, Pandu dari Blitar, dan Mbah Kakung dari Bengkulu, Ira dari Palembang), kami bersenang-senang sepagian di Gelora Sriwijaya yang luasnya lebih besar dari Gelora Bung Karno. Aku mengikuti serangkaian tur arena olahraga. Dimulai dari bowling, arena tembak, tenis, voli pantai, dan stadion sepak bola. Rupanya Gelora Sriwijaya baru saja diterjang angin puting beliung beberapa hari sebelum kedatanganku. Jadi ada beberapa bagian di arena olahraga yang rusak. Sayang banget, ya. Semoga cepat direparasi.

Jelajah Palembang (8)

Jelajah Palembang (9)

Jelajah Palembang (7)

Karena luas Gelora Sriwijaya ini kebangetan, kami berkeliling dengan mobil golf, lalu mengajak bapak sopir baik hati untuk berhenti di tempat-tempat cantik yang bisa dijadikan spot foto. Mengunjungi arena olahraga saat tak ada pertandingan ternyata nggak bikin kami mati gaya. Justru kami punya privilege untuk mengeksplor setiap sudut Gelora Sriwijaya yang meriah dengan warna-warna cerahnya.

5. Museum Sultan Mahmud Badaruddin 2 (SMB 2)

Dari Jakabaring, aku berpindah ke pusat kota. Jakabaring memang masih berlokasi di Kota Palembang, kok, tapi lokasinya lumayan ujung. Untungnya pada hari kedua, aku check out dari wisma atlet dan pindah ke Hotel Batiqa biar bisa eksplor Palembang lebih gampang. Kalau datang ke Palembang, kamu harus bertandang ke Museum Sultan Mahmud Badaruddin 2, yang dulu merupakan Istana Kesultanan Palembang Darussalam yang disebut Keraton Kuto Kecik atau Keraton Kuto Lamo. Istananya berlokasi di tepian sungai Musi. Untuk saat ini, Museum SMB 2 sedang dalam tahap renovasi, maklum usia bangunannya sudah lebih dari 1 abad. Perlu perbaikan di beberapa bagian dan akan dibuat lebih menarik. Koleksi dari masa Sriwijaya, Kesultanan Palembang hingga penjajahan Belanda dipajang di dalamnya. Ada yang asli dan ada yang replika. Kita juga bisa meresapi tatanan adat Palembang di museum ini dengan beberapa koleksi benda-benda tradisionalnya serta koleksi hasil kerajinan songket dengan berbagai motif.

Jelajah Palembang (10)

Jelajah Palembang (11)

6. Jembatan Ampera dan Sungai Musi

Siapa yang nggak kenal jembatan ikonik dari Sumatera Selatan? Dari zaman SD, aku sudah mendengar nama Jembatan Ampera dan mengetahui sejarahnya sebagai bentuk monumen Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera). Bahkan saat memasuki bangku kuliah, aku dikenalkan dengan lagu mars Genderang UI yang lirik terakhirnya, "Kobarkan semangat kita, demi Ampera". Ampera sering banget disebut-sebut dalam sejarah nasional dan jadi lambang semangat dalam bidang apa pun, termasuk pendidikan. Akhirnya, kesampaian juga melihat kemegahan Jembatan Ampera yang megah membentang sekitar 1 km di sungai Musi. Jembatan ini menjadi penghubung 2 area di Kota Palembang, Seberang Ulu dan Seberang Ilir, yang dipisah oleh Sungai Musi, sungai terbesar di Sumatera. Katanya, dulu sekali, jembatan ini sempat dinamakan Jembatan Soekarno pada peresmiannya tahun 1965. Namun, satu tahun kemudian, suasana politik di Indonesia gonjang-ganjing yang menyebabkan nama jembatan ini berubah menjadi Jembatan Ampera.

Jelajah Palembang (12)

Jelajah Palembang (13)

Kini, Jembatan Ampera ada di hadapanku, berwarna merah terang. Berdampingan dengannya, kini juga dibangun jalur LRT dan stasiun Ampera. Jadi, kalau mau jalan-jalan keliling Kota Palembang, cukup naik LRT ke Stasiun Ampera. Tinggal loncat sedikit, aku sudah bisa melihat kemegahan Jembatan Ampera. Lalu turun ke bawahnya, aku sudah sampai di dermaga yang bisa digunakan untuk melintasi sungai Musi, mengeskplor Palembang dari sisi berbeda dan dengan kendaraan yang berbeda pula.

7. Pagoda Pulau Kemaro dan Kisah Cinta Pangeran dari Cina dengan Putri Palembang

Aku berkesempatan menyusuri sungai Musi naik perahu menuju Pulau Kemaro, pulau yang jadi legenda kisah cinta tragis antara Saudagar Cina, Tan Bun An dengan Putri Fatimah, putri kerajaan Palembang. Konon, legenda itu pula yang melatarbelakangi munculnya Pulau Kemaro di tengah-tengah sungai Musi. Ketika Tan Bun An berlabuh di Palembang, saat menghadap Raja Palembang, ia jatuh cinta kepada putri raja, Putri Fatimah. Mereka pun menikah dan Putri Fatimah ikut Tan Bun An berlayar ke Cina untuk bertemu orang tua suaminya. Saat mereka kembali lagi ke Palembang, Tan Bun An dan Putri Fatimah dibekali 9 guci. Ketika sampai di sungai Musi, Tan Bun An sangat kecewa dengan isi ke-9 guci itu yang hanya berisi sawi asin. Dia lantas memerintahkan pengawalnya untuk membuang guci itu ke sungai. Guci terakhir sempat terguling ke dek kapal dan menumpahkan isinya yang tak sekadar sawi asin. Rupanya orang tua Tan Bun An menyimpan banyak emas batangan di dalam kesemua guci. Tan Bun An dan seorang pengawal segera terjun ke sungai dan menyelam menyelamatkan guci-gucinya. Namun, karena mereka berdua tak kunjung muncul ke permukaan, Putri Fatimah pun ikut terjun mencari suaminya. Sejak saat itu, ketiganya hilang di dalam air. Entah ke mana arus sungai membawanya. Yang pasti, sejak saat itu daratan Pulau Kemaro itu mencuat lalu didirikan vihara yang berisi makam Tan Bun An dan Putri Fatimah, serta pengawalnya yang ikut tenggelam di sana.

ziarah makam jelajah palembang

Jelajah Palembang (14)

Biasanya vihara ini hanya dibuka untuk orang-orang Buddha yang ingin berdoa dan berziarah. Pintu makam dibuka pada acara-acara tertentu seperti Imlek dan Cap Go Meh. Beruntungnya kami saat itu, vihara sedang dibuka untuk umum. Di belakang vihara, terdapat bangunan pagoda 9 lantai. Pagoda sering digunakan sebagai tempat ibadah orang Buddha. Biasanya pengunjung hanya dapat menikmati arsitekturnya dari luar yang sekilas mirip dengan Pagoda Avalokitesvara di Semarang.

Nah, beruntung pangkat dua nih, pagoda di Kemaro hari itu dibuka dan kami bisa naik hingga lantai 9. Dengan senang hati, aku pun menaiki tangga demi tangga menuju puncak pagoda. Kok, ya, nggak sampai-sampai, ya. Di lantai 3, Mia menyerah. Aku sempat tergoda untuk menyerah di anak tangga menuju lantai 5 karena Yuni juga ikutan ingin turun. Napas ngos-ngosan. Sepertinya aku harus ikut pertapaan dulu nih biar kastanya langsung terbang ke lantai 9. Saat akan turun, aku disemangati oleh beberapa teman sesama influencer dari Malaysia. Katanya sedikit lagi sampai, tinggal satu lantai lagi. Masa iya? Aku kan baru menapaki lantai 5, harusnya masih ada 4 lantai lagi. Tapi, benar lho, begitu aku menaiki anak tangga itu, aku sudah ada di puncak Pagoda. Kok, aneh ya. Rasanya jumlahnya nggak sampai 9 lantai. Doel menyuruhku balik lagi ke atas dan menghitung lantai per lantai dengan benar. Ah, itu pasti akal-akalannya saja. Meski penasaran, aku masih waras untuk cukup sekali menaiki puncak Pagoda sebelum dehidrasi.

8. Lorong Basah Night Culinary


Jelajah Palembang (15)

Malam-malam gerimis, kami melintasi Pedestrian Sudirman yang merupakan kawasan pecinan di Palembang. Kami berhenti di Lorong Basah Night Culinary yang menjadi pusat kumpulan jajanan enak dan murah. Biasanya Lorong Basah ini ramai pada saat weekend. Karena aku datang bukan pada saat akhir pekan, Lorong Basah Night Culinary jadi lorongnya kami. Semua peserta Musi and Beyond bisa bernyanyi dan berjoget gembira di sana, sembari cemal-cemil cantik.

9. Sarapan Laksan dan Celimpungan di Lenggok


Kuliner PalembangKuliner Palembang (2)

Saat orang-orang berburu oleh-oleh Palembang, aku, Doel, Ogie, dan Mia melipir ke restoran Lenggok yang menyajikan beberapa menu tradisional Palembang. Kami memesan Laksan dan Celimpungan yang juga berbahan dasar pempek. Bedanya, Laksan diberi kuah gulai berwarna kemerahan, sedangkan celimpungan berkuah kuning seperti kuah opor.

10. Ziarah Makam Panglima, Putri, dan Raja di Bukit Siguntang


Jelajah Palembang ziarah makam raja

Bukit Siguntang jadi dataran tertinggi di Kota Palembang. Jadi kata orang lokal, kalau Bukit Siguntang sempat kebanjiran, artinya Palembang tenggelam. Bukit Siguntang ini termasuk bukit yang dianggap keramat juga karena merupakan kawasan makam raja dan para petinggi kerajaan yang berpengaruh di kawasan Sriwijaya. Ada 7 makam yang terdapat di sana, salah satunya makam Raja Segentar Alam alias Raja Zulkarnaen Alamsyah dari Kerajaan Mataram yang pernah menaklukkan sebagian besar Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaka. Ada makam Pangeran Radja Batu Api yang membawa pengaruh Islam ke Palembang dan Putri Rambut Selako yang berasal dari Keraton Yogyakarta. Sekilas, Bukit Siguntang memang dipenuhi akulturasi pengaruh beberapa budaya dan agama. Kalau menapak tilas sejarah, tentu nama-nama yang tertera di makam ini punya kisah panjang tentang bawaan budaya dari negeri asalnya. Jika ingin melihat perbedaan dalam satu pinggan, berziarahlah ke Bukit Siguntang. Sejarah akan mengenang bahwa banyak sekali tokoh dengan latar belakang berbeda yang membawa pengaruh besar dalam perkembangan Palembang dari masa Sriwijaya dulu kala.

Di bagian puncak kawasan Bukit Siguntang, ada semacam bundaran air mancur yang saat itu tampak tak terawat. Di tengah-tengah bundaran itu seharusnya berdiri patung Buddha besar berwarna emas. Saat ini patung itu sedang diungsikan ke museum sampai proses renovasi taman Bukit Siguntang selesai.

11. Bayt Alquran Al Akbar

Kalau ada karya dan proyek besar yang dibanggakan oleh orang Palembang, ukiran Al Quran Raksasa adalah jawabannya. Kunjungan ke Bayt Alquran Al Akbar sempat dibatalkan, tetapi karena kegigihanku dan sejumlah travel blogger yang ingin sekali ke sana, akhirnya kami menerabas hujan deras siang hari naik ojek online. Sungguh perjuangan yang tak sia-sia. Lokasi Bayt Alquran ini memang agak jauh dari pusat kota, sehingga butuh effort menembus kemacetan Palembang jika tidak berangkat sedari pagi.

Wisata religi Al quran raksasa

Sesampai di depan gedung Bayt Alquran yang masih belum dibangun dengan rapi karena menyatu dengan sebuah yayasan pondok pesantren, aku langsung membeli tiket masuk seharga Rp10.000,- Ingat ya, masuk ke kawasan ini harus menutup aurat. Ada peminjaman selendang dan sarung juga di pintu masuk. Begitu masuk, ukiran bertuliskan ayat-ayat Al Quran menjulang hingga menyentuh langit-langit. Sampai saat aku ke sana, Al Quran yang terpajang baru sampai 15 juz. Masih ada 15 juz lagi yang harus diselesaikan oleh tim pengukir. Ayat-ayat Al Quran diukir dan dicat emas di atas lembaran-lembaran kayu lebar berwarna hitam. Pinggirannya dihiasi oleh ukiran-ukiran khas Palembang. Butuh bertahun-tahun merampungkan ukiran-ukiran itu. Tak sekadar wisata religi, alquran raksasa ini patut diapresiasi sebagai mahakarya generasi muda lokal yang positif. Tapi ada sedikit pertanyaan, mengingat ukiran-ukiran itu berisi kitab suci, apa sebaiknya dilindungi dan dijaga dari sikap tangan dan kaki yang kurang bertanggung jawab ya? Soalnya, saat aku ke sana, pas banget rombongan anak sekolah datang berkunjung. Sebagian mereka ada yang langsung naik ke pelataran lembaran papan alquran dengan memanjat, bukan dengan naik anak tangga dengan semestinya. Sayang aja, kan?!

12. Makan Pindang di Sri Melayu


Kuliner Palembang (3)

Berada di jalan protokol Palembang, Rumah Makan Sri Melayu lumayan ramai siang itu. Aku sudah tak sabar ingin mencicipi pindang ikan patinnya. Dari hari pertama ke Palembang, aku belum mencicipi pindang ikan. Siang-siang, menyesap kuah pindang tentu segar sekali. Ada rasa asam-manis dari potongan nanas yang membuat kuah pindang lebih segar dan ikan patinnya tidak amis. Disajikannya bahkan dalam tungku kecil untuk memastikan kuah pindah tetap hangat.

13. Kampung Kapitan

Lagi-lagi kami memilih jalan alternatif menuju Kampung Kapitan dengan naik ketek. Tinggal menyeberang dari dermaga Ilir, cuma sekitar 5 menit, aku berlabuh di pintu masuk kawasan Kampung Kapitan. Kampung ini merupakan kampung pecinan lama yang berasal dari Dinasti Ming Cina. Kenapa disebut Kampung Kapitan? Belanda memberi gelar kapten atau kapitan pada perwira Tiongkok untuk mengatur kawasan 7 Ulu. Karena itu, sejak keturunan Tjoa Kie Cuan bertugas, Belanda pun menyebut perwira ini sebagai Kapitan. Sejak itulah Kampung Kapitan disebut-sebut sebagai kampung tempat tinggal orang Tiongkok berpangkat mayor dan diwariskan turun-temurun.

Jelajah Palembang (16)

Jelajah Palembang (17)

Jelajah Palembang (18)

Katanya ada 15 rumah yang merupakan rumah yang masih bergaya campuran Cina, Belanda, dan Palembang sekaligus. Yang mencolok itu adalah 3 rumah peninggalan seorang perwira bernama Kapitan yang kini menjadi cagar budaya dan direnovasi tanpa merusak bentuk dan gaya bangunan. Rumah Kapitan ini memanjang dengan konsep rumah panggung beratap limas, khas rumah tradisional Palembang. Sentuhan bangunan Belanda terlihat pada pilar-pilar bagian depan dan tembok batu di bagian bawah tangga. Ketika masuk ke rumah perwira Kapitan ini, kita akan tertumbuk pada pelataran doa kepercayaan Buddha. Diikuti dengan potret-potret sang perwira Kapitan dan keturunannya. Lalu ada kamar-kamar besar dengan jendela-jendela lebar seperti peninggalan Belanda. Ketiga rumah ini punya connecting door dan koridor yang sambung-menyambung.

Sampai saat ini, Rumah Kapitan ini dihuni oleh keluarga Pak Mul yang merupakan keturunan Kapitan generasi ke-14. Kata Pak Mul, dulunya Kampung Kapitan ini adalah warisan keluarganya.
Berarti luas kan tanah milik sang perwira kapitan.

14. Kampung Al Munawar

Satu lagi kampung yang kukunjungi di seberang Ulu dengan naik ketek adalah kampung Arab Al Munawar. Aku terpesona dengan tatanan di kampung ini. Karena sudah menjadi tujuan wisata, Kampung Al Munawar memang sudah terbiasa kedatangan turis. Tapi tetap harus menutup aurat ya selama berada di kawasan kampung. Tak jauh dari tepian sungai, aku disambut bangunan-bangunan rumah yang unik. Masuk ke kawasan ini serasa berada di kampung Arab tapi tetap bergaya Palembang. Kebayang kan, saat kamu jalan-jalan di sekitar kampung, lalu ada ibu-ibu dan bapak-bapak yang berdiri di depan rumah berparas turunan Arab banget. Sebagian bangunan rumah di kampung ini juga telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.

Jelajah Palembang (19)

Jelajah Palembang (20)

Aku nggak bisa berlama-lama berada di Kampung Al Munawar karena sudah mau magrib, sementara kampung ini hanya dibuka untuk wisata sampai pukul 5 sore. Kalau ada kesempatan ke Palembang lagi, mungkin aku akan eksplor lebih banyak tentang cara keturunan Arab di kampung ini mempertahankan tradisinya. Begitu juga dengan orang-orang turunan Tionghoa di Kampung Kapitan. Bagaimana mereka bisa hidup bersisian dan melebur menjadi masyarakat lokal di pinggiran Ulu Sungai Musi.

Ah sudah mau gelap. Langit sudah mendung dan kami harus kembali menyeberang ke Ilir. Semoga ada kali lain mengunjungi Palembang. Perjalanan kami ditutup dengan badai di Sungai Musi dan harus hujan-hujanan menuju parkiran bus dari dermaga Ilir.

15. Farewell Dinner Travel Blogger

Hujan-hujanan dan kena badai di atas ketek tak menyurutkan semangat kami untuk mengikuti farewell dinner yang diadakan Kepala Dinas Pariwisata Kota Palembang. Setelah ganti baju kilat di Hotel Batiqa, kami meluncur segera ke Ballroom The Zuri Hotel untuk farewell dinner. Aku makan ikan patin lagi, kali ini lebih banyak sampai kepala mulai pusing, kolaborasi apik antara masuk angin, kehujanan, dan sedikit terkena pengaruh kolesterol. Tapi tak apa, sudah terobati dengan kemeriahan jalan-jalan kami yang menyenangkan walau sedikit drama.

Kuliner Palembang (4)

Jelajah Palembang (21)

Usai makan malam di ballroom The Zuri, kami pun menutup malam dengan nongkrong bareng di Pempek Candy. Awalnya aku cuma menemani mereka yang ingin memborong oleh-oleh pempek, tapi ujung-ujungnya kami memesan pempek bakar, mie celor, dan es kacang sebagai dessert.

Terima kasih, wong kito galo, untuk semua hidangan dan kisah perjalanannya.

Komentar

  1. Akika cewok loh sisss ���� Hahaha ��Banyak spot foto yang ku miss, ga punya fotonya
    #kusedih

    Angle kakimu di Jembatan Ampera pas ya, kayak pake wakai ����

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lagian, sok sok misterius gak pajang profile WA -___- Gimana kita mau banyak spot foto, waktu di tiap tempat dibatasin cuma 10 menit... *kaboooor.

      Itu kaki udah diumpet-umpetin tuh di Jembatan Ampera biar gak ketauan pake sandal hotel. :))

      Hapus
  2. emang nyebelin ya kalau orang gak pake foto profile jadi gak tahu dia cewe apa cowo.. pas dipanggil dan salah dia sewot :p


    semoga palembang bikin betah buat kalian ya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasi Ko Deddy yang sabar banget nemenin kami jalan-jalan di hari terakhir sampe nenteng-nenteng dus pempekku dan nungguin di lobi hotel sampai kelaparan. Palembang cantik, mudah-mudahan aku bisa berkunjung lagi. :))

      Hapus
  3. Seru banget Acara fam trip nya. Bisa main eksplorasi destinasi, kuliner dan budaya. Nanti kalau ada lagi pengen daftar ah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau ada di tempat lain juga, kasih aku ya Uni Evi. Biar kita bisa ngetrip bareng lagi. Hehehe

      Hapus
  4. Mantab! Haha. Keunggulan trip kalian ini ialah dibukanya beberapa akses yang warga lokal sendiri susah untuk mendapatkannya. Kayak foto di stadion, makam Tan Bun An hingga pagoda.

    Rancak bana!

    Omnduut.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Weleh mosok gitu tah Om? Tan Bun An itu ngga semua orang bisa nengok makamnya? Wahh bersyukurlah.

      Hapus
    2. Rejeki anak soleha emang begitu Om. Tapi kamu juga bisa ikutan kan naik ke Pagoda dan liat makam Tan Bun An tanpa harus ngintip-ngintip di balik pintu yang tertutup. :D

      Hapus
  5. Menarik dan colorful sekali.
    Jadi pengen segera ke sana.

    BalasHapus
  6. Aduh. Adegan kulinernya bikin hati berdebar-debaarr

    BalasHapus
  7. Akk bintangin ah artikelnya biar bisa niru buat besok main ke Palembang..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kamu kan orang Palembang Mba. Kenapa harus dibintangin. :))

      Hapus
  8. Jakarta kalah ya.. Palembang udah punya LRT duluan T.T
    Aduuuh aku ngiler banget lihat mie celor sama pempek di sana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, LRT Palembang kan emang yang pertama di Indonesia.

      Hapus
  9. Palembanf ini kayaknya memang mempersiapkan diri ubtuk jadi destinasi wisata kuliner ya.



    Itu naik ketek? Aku bacanya ketawa sendiri ����

    BalasHapus
  10. Duh, liat foto-fotonya jadi makin besar hasrat untuk traveling ke Palembang

    BalasHapus
  11. Kalian curang, pada jalan ke Jembatan Ampera. Btw kalian pesan laksan sama celimpungan ya pas di Lenggok ? aku kemana ya pas kalian makan? wkwkwk baru sadar pas baca blognya Hanum.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dirimu kan asyik belanja baju-baju lucu di bawah Mba. Lupa ya, kalau seisi bis nungguin kamu antre belanjaan? Hahahahaha

      Hapus
  12. Kalo dari Palembang, pulang harus bawa pempek sekoper. Buat stok cemilan sebulan.

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular Posts