Musim Semi di Veliko Tarnovo, Bulgaria

Bulgaria itu memesona. Meski tidak serapi negara-negara di Eropa Barat, Bulgaria menjadi negeri Balkan yang manis.

Pagi itu, aku sudah berada di Bandara International Soekarno-Hatta Terminal 3 untuk penerbangan Jakarta-Kuala Lumpur. Ya, aku sendirian. Aku akan bertemu ibuku dan tim tarinya di Kuala Lumpur International Airport. Kami akan berangkat ke Bulgaria demi mengemban misi pertukaran kebudayaan di sana, dalam ajang Balkan Fest: The World Cup of Folklore 2018. Hari itu sehari menjelang Ramadhan. Pada saat orang bersiap ke masjid untuk salat tarawih malam hari, aku dan tim menunggu penerbangan selanjutnya menuju Sofia, Bulgaria yang transit terlebih dahulu di Istanbul.

Jelajah Bulgaria
Jelajah Bulgaria, source: jurnaland.com
Transit di Kuala Lumpur untuk memulai perjalanan menuju Bulgaria.

Musim semi di Bulgaria-source: jurnaland.com
Siap untuk mengawali Ramadhan di Bulgaria.
Ini perjalanan jauh keduaku pada saat Ramadhan. Aku akan sahur pertama di langit Istanbul sekaligus salat subuh di pesawat. Sekilas orang akan menilai kalau aku tak menghormati Ramadhan dan seharusnya aku sedang berada di rumah untuk menjalani tarawih pertama, sahur pertama, dan berbuka bersama dengan keluarga. Persoalan ini sempat menjadi ancaman bagi kami yang akan berangkat awal Ramadhan itu Bulgaria. Namun, bagaimana jika dibalik. Aku memulai Ramadhan dengan perjalanan. Perjalanan menjadi sebuah ibadah dan punya nikmat tak terhingga yang membuat Ramadhan ini menjadi lebih bermakna. Aku merasa lebih hidup dan banyak sekali bersyukur saat sahur dimulai dari langit penuh bintang menuju Turki, negeri seribu kubah. Siapa yang akan mengingkari nikmatnya. Meski sekadar makan dengan makanan yang dihangatkan dalam oven pesawat, diberikan pramugari demi penumpang tidak jetlag saat menempuh perjalanan 10 jam di pesawat, tapi terasa syahdu. Aku meniatkan itu sebagai awal ibadahku yang berkali-kali lipat membawa hikmah pada diri sendiri, bahwa hidup itu tidak flat.

Ku bertekad, sama seperti tahun lalu di Georgia, meski perjalanan akan melelahkan dan waktu puasa lebih panjang dari biasanya (16,5 jam), aku tetap meniatkan diri untuk berpuasa dan bergembira mengikuti serangkaian acara pertemuan kebudayaan dunia di Bulgaria.
Bandara internasional Soekarno-Hatta-source: jurnaland.com
Memulai Ramadhan dengan perjalanan.
Sahur pertama di langit Istanbul-source: jurnaland.com
Sahur pertama di langit Istanbul.

Attaturk International Airport-source: jurnaland.com
Pagi hari di Istanbul.
Saat pesawat kami mendarat di Attaturk International Airport, saat fajar muncul, aku memulai puasa dengan kepala sangat berat. Kami harus berlari menuju koridor transit untuk pemeriksaan menuju boarding room. Pesawat kami di Sofia sudah menunggu. Boarding pass dan visa Bulgaria sempat dipertanyakan, tetapi untungnya tidak menjadi kendala besar. Aku heran, kenapa selalu ada diskriminasi terhadap orang berpaspor burung garuda? Visa dan paspor kami difoto sebelum kami diizinkan masuk pesawat.

Penerbangan menuju Sofia, ibukota Bulgaria, berlangsung 2 jam. Lagi-lagi, kami ditahan di imigration border saat pemeriksaan visa. Kami disuruh menunggu sekitar 1 jam sembari petugas imigrasi Sofia memeriksa data kami. Usai menandatangani surat yang entah apa, aku tak mengerti aksaranya, yang penting urusan cepat beres, akhirnya aku dapat menginjakkan kaki di Sofia. Welcome to Bulgaria, kata petugas imigrasi bandara.

Seorang driver dengan rambut ikal yang memutih sudah menunggu kami di pintu kedatangan. Angin semilir juga ikut menyambut kami, membelai kerah jaketku yang tipis. Suhu udara saat itu di bawah 17 derajat celcius. Sofia mengucapkan selamat datang dengan angin musim seminya. Pagi itu, aku dan tim akan melakukan road trip selama 3 jam menuju Veliko Tarnovo bersama sopir travel ini yang hanya menggunakan kaus oblong lalu membuka jendela mobil lebar-lebar biar angin bersemi di dalam mobil. Dia tidak tahu bahwa kami berasal dari negara tropis. Dia tidak akan pernah mengerti bahwa suhu udara terendah di Indonesia hanya sampai 25 derajat celcius. Jika ada yang di bawah itu, ya hanya waktu-waktu dan lokasi tertentu. Mana tahan badan tipisku ini diterpa angin musim semi yang dingin itu. Mau kucolek beliau, tapi dia tidak bisa berbahasa Inggris. Jadilah, angin sukses membuatku masuk angin. Ketika dia hanya bersenandung sambil menyetir, kepalaku mulai berat padahal pemandangan bukit dan kebun bunga luas terhampar di kiri-kanan jalan.

Road Trip Sofia-Veliko Tarnovo-source: jurnaland.com
Road trip Sofia-Veliko Tarnovo dimulai.

Road Trip Sofia-Veliko Tarnovo 2-source: jurnaland.com
Meski ada marka jalan, tapi tetap nggak bisa baca.

Road trip Sofia-Veliko Tarnovo 3-source: jurnaland.com
Aku mampir rest area tapi nggak jajan karena puasa.

Selama satu setengah jam jalanan panjang berliku, masuk-keluar terowongan menembus bukit, menerabas pinggir jurang, serta melewati kebun lavender dan berbagai jenis berry-berry-an yang sedang bersemi, mobil berhenti di sebuah rest area. Rupanya itu prosedur perjalanan jauh di sana. Mereka wajib berhenti di rest area. Sang sopir mempersilakan kami untuk jajan dan buang air selama 10 menit. Aku sungguh tergoda untuk membatalkan puasa saat itu karena mulai merasa jetlag. Rasa kantuk menyerang kian parah. Kalau di Indonesia, saat itu mestinya sudah magrib. Meski niat membatalkan puasa itu ada, tapi malah uang yang tidak ada. Aku belum menukarkan mata uang lokal, yaitu leva (1 leva=8000 rupiah). Jadi, aku belum bisa jajan sekalipun ada beberapa lembar euro di kantong. Teman-temanku sedang asyik mengunyah stok camilan di dalam mobil. Setidaknya cukup untuk mengganjal perut. Hanya aku saja yang berpuasa hari itu, bahkan ibuku pun tidak karena mereka harus tampil prima untuk membawakan tarian tradisional hari pertama, sore itu juga.

Veliko Tarnovo berbeda sekali dengan Sofia. Sofia yang punya bangunan-bangunan dengan arsitektur modern, jalanan yang lebih rapi dan ramai, bertolak belakang dengan tata kota Veliko Tarnovo. Memasuki Veliko Tarnovo seperti memasuki wilayah Eropa masa lalu. Bangunan-bangunannya cenderung lebih tua, jalanannya lebih lengang, kontur tanahnya juga tidak rata, banyak turunan dan tanjakan.

Mobil kami berhenti di sebuah jalan. Awalnya ku bingung, apakah kami sudah sampai atau belum. Dia pun tidak memberi tahu. Setelah menunggu sekitar 5 menit, dua gadis manis menghampiri kami dan mengenalkan diri mereka sebagai pendamping kami selama event berlangsung. Hotel City tempat kami menginap ada di seberang jalan. Tulisannya tertutup pepohonan dan pintu masuknya kecil di sebelah sebuah bar yang menjadi bagian dari hotel itu. Setelah berbincang sebentar dengan 2 bule muda itu, aku pun langsung check in hotel. Setelah check in, aku diantar ke kantor sekretariat European Association of Folklore Festivals (EAFF), penyelenggara The World Cup of Folklore. Aku membiarkan teman-teman yang lain beristirahat karena pasti lelah sekali. Aku sendiri diboyong langsung oleh Mariana dan Vamena, nama 2 gadis itu, berjalan kaki ke kantor sekretariat mereka. Akhirnya aku bisa menikmati siang yang cerah berjalan blok demi blok dan melewati taman kota yang asri. Setelah registrasi peserta festival dan ikut briefing, aku pun diantar balik ke hotel karena tak sampai 3 jam lagi, festival dimulai.

City Hotel Bulgaria-source: jurnaland.com
City Hotel disediakan khusus untuk semua peserta The World Cup of Folklore.

Tim Galang Dance Community di Bulgaria-source: jurnaland.com
Tanpa sempat istirahat banyak, kami langsung siap untuk pertunjukan pertama.

Galang Dance Community Indonesia di Bulgaria-source: jurnaland.com
Ootd sebelum pertunjukan.

Saat itu pukul 3 siang (di sana masih siang karena waktu zuhur baru saja masuk), imanku goyah. Aku dehidrasi ringan. Aku menghitung waktu berbuka puasa dan membandingkannya dengan tenagaku yang tersisa. Buka puasa masih pukul 8:45. Itu artinya lebih kurang 6 jam lagi. Sementara, event akan dimulai pukul 5:30. Aku harus fit karena menjadi juru bicara untuk grup kami, satu-satunya perwakilan dari Indonesia. Dengan sangat berat hati, aku pun berbuka puasa siang itu. Tidur 15 menit biar tampak segar dan memberikan brief kepada grup kami sebelum berangkat ke gedung pertunjukan. Perjuangan kami membawa nama baik Indonesia dimulai sore itu. Mungkin banyak yang asing dengan nama Indonesia, tapi dengan identitas yang kami bawa, kesan Indonesia itu ramah dan berwarna dapat tertinggal di sana.

Musim semi di Veliko Tarnovo Bulgaria
Kami dapat penghargaan pembaruan dalam folklore dunia. Senangnya.

Galang Dance Community di Balkan Fest-jurnaland.com
Pertunjukan pertama Galang Dance Community malam itu untuk Balkan Fest-The World Cup of Folklore 2018.

Orang tropis bergabung dengan tim dari Yakutsk, negeri terdingin di dunia.
Kami bertemu banyak sekali perwakilan dari berbagai negara dari sore hingga malam. Yang paling ramah adalah tim dari Yakutsk, Rusia (bacanya Yakutsi), negeri terdingin di dunia katanya. Kami juga berdampingan makan malam dengan tim dari India, Iran, dan Teheran. Di sana pula aku menyadari bahwa tidak semua orang bisa berbahasa Inggris. Kami berbicara lewat tari, lewat musik, lewat senyum, dan lewat bahasa isyarat. Begitulah Bulgaria menyambut kami. Dari serangkaian jadwal yang harus kulalui hingga larut malam hari itu, senyum selalu menghiasi wajah ini. Bukan senyum palsu, tapi senyum gembira bertemu dengan orang-orang kreatif dari belahan dunia lain. Lelah tiada tara memang, tetapi kesempatan ini juga tak boleh dilewatkan dengan sia-sia, bukan? Aku menyerap banyak sekali energi positif dari mereka yang memahami dunia lewat kesenian. Aku berharap, esok harinya juga akan seperti itu, bertemu lebih banyak lagi orang, berkawan, dan belajar dari mereka. Musim semi di Veliko Tarnovo-Bulgaria mengamini perjalananku. Hari diakhiri dengan gerimis. Sungguh suasana jelang malam yang syahdu.

Lanjut baca: Jalan-jalan Pakai Pakaian Adat di Bulgaria

Dinner di Veliko Tarnovo-source: jurnaland.com
Dinner pasca pertunjukan, muka lelah tapi masih sumringah.

Komentar

  1. wah cantik sekali ya kak Bulgaria pas musim semi.
    aku belum pernah sampai ke Eropa, walau cita2 ke sana udah ada dari 2 tahun lalu.
    semoga bisa segera terealisasikan cita2 ke sana, seperti kamu yg sudah menginjakan kaki di sana :) *amin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Kamu harus bisa ke sana kak. Jangan kaya aku, ke sana tapi gak sempat explore lebih banyak negeri Bulgaria :))

      Hapus
    2. amin mbak, makasih ya.
      tapi seenggaknya kamu gak akan norak kaya aku nanti pas bisa sampe di Bulgaria :D

      Hapus
  2. Keren kak ..., aktif jadi duta seni bisa melalang buana ke banyak negara, termasuk ke Bulgaria ini.
    Sungguh beruntung ☺

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah. Bangga juga bisa ke sana bawa nama baik negeri ini. Jadi ketagihan :)

      Hapus
  3. Keren bgt kak.. nice blog inspirstif dan bahasanya serasa baca novel bgt..

    Salam kenal

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah makasih Kak. Aku jadi tersipu. Terima kasih sudah mampir kemari. :D

      Hapus
  4. Keren euy, jadi duta budaya hingga ke Bulgaria. Aku ngebayangin hebat banget bertahan untuk tetap berpuasa meski dalam perjalanan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang bikin aku semangat puasa di sana karena ketika berbuka pun aku gak ketemu es cendol atau cincau. Jadi ya mending puasa aja, karena makanannya gak ada yang menggugah selera. wkwkwkwk

      Hapus
  5. Sekalipun perjalanan hari pertama bulan Ramadhan, menginjakkan kaki di negeri asing di awal musim semi, sebuah pengalaman indah ya Num. Apalagi membawa misi budya, Indonesia, sungguh perjalanan yang syarat dengan ibadah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pengalaman yang bikin nagih lebih tepatnya Uni... :D

      Hapus
  6. Senangnya budaya Indonesia sampai Bulgaria :D
    Ooo ternyata dilakukan saat Ramadan ya mbak? Punya kenangan jadinya nyicipin puasa di negeri org :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, 17 jam puasa di Bulgaria. Aku lemas sampai teler :)

      Hapus
  7. Wah, seru banget Mbak pengalaman ramadhan hari pertaama dalam perjalanan misi kebudayaan. Gak semua orang mendapatkan kesempatan seperti itu. Semoga suatu saat ku juga dapet rezeki buat berkunjung ke Sofia. Aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Kencangkan ikan kepala dan ikat dompet ya Kak. :D

      Hapus
  8. Seru ya mba bisa mewakili Indonesia untuk suatu event. Bicara soal Vuogaria, aku jadi inget buku tulisan Martin Aleida waktu mewawancarai salah satu kaum eksil yg tinggal di sana. Jadi pengen ke Bulgaria deh :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau mau melihat sejarah perjuangan Bulgaria, Veliko Tarnovo adalah tempatnya. Banyakbangunan bersejarah di sini kak.

      Hapus
  9. Wah, gue cocok musim semian di Eropa nih. Lha Bandung udah biasa di bawah 20 derajat, sekitar 16-19 gitu hehe. Mungkin next time sebelum ke Eropa bisa latihan dulu di Bandung :D

    Jangan feeling guilty karena batal puasa ya, kak. Kamu sedang jadi musafir, kamu menjalankan kewajiban di sana, bukan sekadar liburan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya benar banget kak. Aku juga gak mau maksain diri juga buat puasa di sana. yang penting sudah ada niatnya, sudah mencoba, dan jadi cerita pas pulangnya.

      Kak Nugi harus ke Eropa berarti, udah kebal kan kulitnya sama suhu di bawah 20 derajat. wkwkwkwk

      Hapus
  10. Aku bisa merasa ikutan perjalananmu ke Veliko Tarnovo, lewat jalan mulus dengan pemandangan gunung & hamparan bunga. Kebayang cakepnya.
    Foto2nya juga cakep,, terutama foto2 para penari lengkap dg kostumnya. Keren.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Walaupun aku cuma sebentar di Bulgaria, tapi musim seminya selalu teringat di hati

      Terima kasih sudah mampir. Nanti mampir lagi ya kak :))

      Hapus
  11. Waaa makasih banyak ya jurnal nya! Aku lagi cari2 info tentang bulgaria karena insyaAllah bulan juli ini akan magang di sofia. Terimakasih banyak ya tulisannya!

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular Posts