Kuliner Papua dan Sensasi Makan Papeda Pertama Kali

Buat yang sudah pernah ke Papua, pasti familiar dengan papeda, makanan khas dari Indonesia bagian timur yang berbahan dasar sagu. Karena aku belum pernah ke Papua, aku juga belum pernah mencoba papeda. Bahkan awalnya kupikir papeda itu sejenis sambal seperti sambal roa. Duh aku salah besar.

Baru beberapa hari lalu aku akhirnya bisa makan sagu ini. Aku diajak meeting dengan seorang penulis yang merupakan teman lama. Kami sudah lama nggak ketemu karena dia pindah ke Bali. Kami pernah sama-sama menulis di satu penerbit dan diorbitkan oleh editor yang sama. Walaupun nggak terlalu dekat, ya seenggaknya kami pernah melakukan trip bareng ke Gunung Padang dan Stone Garden sebelum ia pindah. Nama akun Instagramnya sih @backpackertampan, tapi kami memanggilnya tetap Pandu atau Ndup.

Kuliner Papua di Alenia Papua Coffee. Source: jurnaland.com
Kuliner Papua di Alenia Papua Coffee and Kitchen.
Alenia Papua Coffee and Kitchen. Source: pergikuliner.com
Alenia Papua Coffee and Kitchen
 
Setahun lalu, tepatnya saat aku dan Ry, editor kami, berada di Bali, Ry sempat janjian bertemu dengan Pandu di Seminyak, tetapi karena beberapa hal, rencana itu gagal. Ya, akhirnya baru beberapa hari lalu kami bertemu lagi. Kebetulan ia sedang berada di Jakarta. Pandu mengajakku dan Ry nongkrong di satu restoran makanan Papua, Alenia Papua coffee and kitchen di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Katanya, temannya adalah keponakan Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen, pemilik kafe itu.

Ya, aku sih senang-senang saja diajak ke Kemang karena aksesnya gampang. Aku malah baru dengar tentang kafe ini, kupikir semacam coffee shop biasa, ternyata otentik, punya ciri khas.

Memasuki pelataran parkir Alenia Papua Coffee and Kitchen, aku melihat ada 2 patung berdiri di antara pintu kaca. Patung itu ternyata salah satu hasil kerajinan seni ukit Kamoro. Kubuka pintunya lalu masuk. Dekorasi unik dan etnik mengisi sisi kiri ruangan. Bangku-bangku kayu dihiasi dengan cushion bersarung batik. Ada peta lama Indonesia bagian timur terpajang lebar dengan deretan bentuk-bentuk kerajinan ukir Kamoro juga, khas kerajinan ukiran Papua dipampang di rak kiri-kanan peta. Ada beberapa hasil kerajinan dari berbagai suku di Papua dan ternyata dijual juga lho. Aku melihat label 'sold' di beberapa barang panjangan. Berdiri di dalam kafe yang sepi siang itu, aku serasa masuk ke mesin waktu, saat Belanda, Portugis, dan Spanyol pernah berada di garis Indonesia Timur.

Saat itu, Pandu dan Ry belum datang. Aku bingung mau memesan menu apa. Kupikir di sana ada pasta, tapi ternyata benar-benar komitmen mengangkat menu makanan Papua dan Indonesia bagian timur. Aku lantas memesan singkong goreng sambal roa dan green tea latte sebagai menu pembuka. Sebenarnya karena bingung aja mau pesan apa. Singkong gorengnya enak dan garing. Bisa dicocol dengan sambal roa yang nggak terlalu pedas. Pas aja di lidah.

Tak lama Ry datang lalu mengejekku, "Lo belum pernah coba papeda?" Aku menggeleng. "Ya, belumlah. Kan gue pikir itu sejenis sambal roa." Dia menertawakanku seketika. Kemudian dia memesan papeda goreng dan segelas kopi susu mamakota. Katanya kopi di sini memang sengaja disuplai dari produsen kopi di Papua.

Singkong goreng sambal roa ALenia Papua Coffee. Source: jurnaland.com
Singkong goreng sambal roa.

Papeda goreng Alenia Papua Coffee. Source: jurnaland.com
Papeda goreng

Kopi susu mamakota Alenia Papua Coffee. Source: instagram.com/aleniapapuacoffee
Kopi susu mamakota

Aku mencicipi papeda goreng. Bentuknya seperti cireng tapi bentuknya lebih lebar dan warnanya lebih kecokelatan. Paling enak disantap dalam keadaan masih hangat. Jadi garingnya lebih berasa dan sagunya juga tidak terlalu kenyal. Papeda goreng ini ditaburi bumbu sambal teri untuk memperkuat rasa. Enak, kok.

Menu pamungkas dipesan oleh Pandu saat ia datang paling telat. Ia memesan papeda ikan kuah kuning. Katanya ini papeda yang nggak digoreng. Aku langsung membayangkan sagu kenyal seperti permen yupi. Papeda ikan kuah kuning ini dihidang untuk empat porsi. Jadi jangan heran kalau menu ini heboh sekali, mengundang lirikan pengunjung di sebelah. Maklum, makin sore, Alenia Papua Coffee and Kitchen ini makin ramai.

Mba waitress mengajarkan kami cara makan papeda ikan kuah kuning ini. Jadi potongan ikan kakap dan kuahnya diambil duluan di piring, lalu papedanya dicolek dan digulung-gulung menggunakan semacam sumpit dari bambu dan dicampur ke kuah kuning yang telah disiapkan. Bisa ditambahkan irisan cabai rawit dan perasan jeruk nipis biar lebih sedap. Ada kemangi yang bikin wangi di kuahnya. Ikannya juga tidak amis.

Sensasi makan papeda ikan kuah kuning. Source: jurnaland.com
Papeda ikan kuah kuning.

Sepertinya cara makannya langsung diseruput bersamaan ya, karena papeda sendiri kenyal dan susah diangkat dengan sendok. Tapi aku mau makan dengan anggun aja ah. Katanya juga, makan papeda ini jangan dikunyah, langsung telan. Pada suapan pertama, aku menuruti yang mereka bilang. Papeda berkuah itu lewat begitu saja di lidah dan meluncur ke tenggorokan. Rasanya... seperti menelan sesuatu yang kenyal. Ada kuah kuning yang memberi rasa kuat pada papedanya, jadi semacam kolaborasi yang pas di lidah. Rasa kuah kuningnya persis seperti pindang ikan dari Lampung. Karena aku suka ikan, enak-enak saja makan ini, bahkan nambah. Sagunya memang agak ganggu awalnya di tenggorokan, tapi bisa ditelan dengan bantuan kuah ikan ini. So far so good. Ini yang namanya cita rasa nusantara dari negeri timur. Sagu ini selayaknya nasi dan kuah kuningnya lauk pauk. Enak. Kalau ada sambal tentu lebih mantap kali, ya.

Kami makan papeda sembari bercerita pengalaman masing-masing setelah lama tidak berjumpa. Pandu bercerita tentang Bali dan pekerjaannya sebagai video editor untuk salah satu vlogger bule. Dia juga bercerita tentang Sumba dan Filipina. Katanya, kalau mau jalan nggak jauh-jauh amat dengan harga murah, Filipina bisa jadi pilihan. Kebetulan sekali aku memang sedang merencanakan perjalanan tahun depan. Aku memang kepikiran ke Filipina, eksplor Manila dan pulau-pulau di sekitarnya. Pandu bilang, kalau mau eksplor alam dan laut di arah timur yang biayanya terjangkau, Filipina aja. Lautnya mirip Maluku karena tetanggaan. Aduh, aku teracuni. Ry juga. Yang tadinya dia ingin roadtrip 5 negara Asia Tenggara, jadi berubah haluan.

Obrolan kami meluas seputar traveling. Pandu ingin menuntaskan keinginannya untuk ke India lagi dan masuk ke Taj Mahal. Buat yang pernah baca buku Bucket List punya Pandu ini tentu tahu ceritanya jelajah Asia dengan backpacker. Ya, tahun depan dia mau ke India lagi. Siapa tahu setelah itu dia bisa nulis buku kedua. Aku dan Ry juga saling melempar cerita tentang keinginan masing-masing menjelajah berbagai tempat. Papua tentu jadi salah satunya, tapi kok ya mahal amat biaya ke sana. Begitulah hidup, ya. Kalau sudah mencoba traveling sekali, akan ada rencana-rencana traveling berikutnya. Kami punya bucket list masing-masing. Dengan adanya teman ngobrol seasyik mereka ini, yang nggak melihat hidup itu harus muluk dengan segala materinya, aku jadi bersyukur. Berjalan adalah tujuannya dan ceritanya bisa dibawa pulang dengan senang. Aku mantap menyantap sendokan terakhir kuah papeda.

Kuliner Papua dan sensasi makan papeda
Coba kuliner bareng Pandu dan Ry.

Makan papeda dari Papua membuat kami bersemangat untuk eksplor timur. Sebelum bisa ke Papua, bisa coba papeda di Alenia Papua Coffee and Kitchen di Kemang buat pemanasan. Merasa belum kenyang, kami memesan kue bola persipura yang berbahan dasar ubi dan gula merah. Lengkap sudah santapan sore hingga malam kami. Dari singkong, papeda goreng, papeda kuah, dan ubi. Sudah cocok jadi orang Indonesia bagian timur belum? Sebenarnya ada banyak menu di kafe ini. Nggak semuanya ubi dan sagu kok. Ada menu nasi juga. Kalau ke sana lagi, aku ingin coba nasi campur papua, nasi kuning papua, ikan goreng biak sambal colo-colo, nasi sop brenebon, dan ikan bakar manokwari. Kopi-kopian dari Papua juga belum tuntas semua dicoba. Wah, banyak juga list-nya.



Komentar

  1. sampe rightknow aku belum pernah mkan papeda. enak no?
    udah kayak anak gaul selatan belum akkunya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku nggak ngerti kamu ngomong apa Ben. Karena kau bukan lagi anak Jaksel. Hahahaha

      Hapus

Posting Komentar

Popular Posts