Ada Cerita tentang Pancasila dan Keragaman di Surabaya

Kunjunganku ke Kota Surabaya kali ini punya banyak sekali pesan moral. Aku tak sekadar berkunjung, tapi bertemu dengan para guru hebat dari berbagai daerah di Indonesia. Iya, kali ini aku ke Surabaya dalam rangka Persamuhan Nasional Pendidik Pancasila yang diadakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Ini semacam reuni dengan teman-teman Blogger yang hadir di Persamuhan Nasional para penggiat kampung di Anyer lalu. Eits, lalu ini perkumpulan guru se-nasional, ya. Aku diminta datang lagi. Rupanya Blogger itu multiprofesi. Kami bisa menyublim ke profesi apa saja. Hehehe.




Aku belum beralih profesi jadi guru kok. Aku hanya terinspirasi dengan para guru yang pasti punya segudang cerita tentang lika-likunya menjadi pendidik dan beragamnya tingkah polah para siswa. Wah, aku merasa berada di 2 persimpangan, apakah harus menempatkan diri sebagai siswa atau sebagai guru? Karena rupanya banyak sekali yang belum aku tahu tentang makna Pancasila seperti yang dipertanyakan banyak siswa. Tetapi apakah sebagai pendidik kita bisa memberikan penanaman nilai-nilai itu kalau fenomena Pancasila saja seakan tak digubris. Mari, aku tidak sabar ingin cerita tentang pendidik Pancasila ini.

Ada Cerita tentang Pancasila dan Keragaman di Surabaya

Ada Cerita tentang Pancasila dan Keragaman di Surabaya 2

Kamu masih ingat tentang pelajaran PPKn atau Kewarganegaraan zaman sekolah? Ada macam-macam namanya ya. Pada masa ku sekolah, ya aku sempat punya mata pelajaran untuk pembinaan budi pekerti Pancasila. Kalau diingat, dulu aku belajar PPKn ini setengah hati tapi tetap dapat nilai tinggi. Iyalah, pelajarannya terasa ringan, tentang kehidupan sehari-hari, tentang adab apa yang mesti dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Dan, tadaaaa... Nilai A atau nilai 9 sudah di tangan selama nggak ada catatan hitam perilaku buruk di sekolah.

Nah, ternyata aku baru menyadari 1 hal tentang pelajaran budi pekerti ini, yaitu pelajaran tentang nilai-nilai Pancasila juga harus diselaraskan dengan pelajaran Sejarah dan Agama. Okelah untuk pelajaran Agama masih nyambung. Lalu bagaimana dengan Sejarah? Iya, saat di Surabaya, acara Persamuhan Pendidik Pancasila ini didominasi oleh para guru Sejarah perwakilan 34 provinsi. Kebetulan juga, aku sekamar dengan salah satu guru Sejarah dari Kalimantan Timur. Jadi beliau bercerita bahwa penting sekali pemahaman sejarah bagi anak-anak muda karena dari sanalah moral Pancasila terbentuk. Kalau nggak tahu sejarah, tahu apa kita soal Pancasila? Ada spirit yang terkandung dari cerita sejarah yang selaras dengan pembentukan Pancasila. Begitu inti pembicaraanku dengan guru sejarah di kamarku selama beberapa malam kami bersama. Well, obrolan malamku dengan beliau sangat berisi ya.

Ada Cerita tentang Pancasila dan Keragaman di Surabaya 3

Aku jadi ingat kata JJ Rizal, seorang sejarawan yang jadi pemateri di event ini. "Pancasila itu multitafsir. Bung Karno yang merangkumnya jadi satu," tegasnya saat obrolan makan siang di mejaku. Itu artinya bahwa Pancasila itu sudah ada jauh sebelum dirangkum tahun 1945. Itu artinya pula, kita perlu belajar sejarah agar tahu bahwa cerita kepahlawanan, perang, kerajaan itu adalah bagian dari perjalanan Nusantara membangun karakternya. Makin menarik ya topik Pancasila ini.

Amalan Pancasila sebenarnya sudah ada di nadi bangsa, tetapi sulit sekali untuk benar-benar meyakini dan melakukan. Ya, seperti nilai PPKn-ku yang cukup tinggi di sekolah, tidak berbanding lurus dengan nilai mata pelajaran Sejarah. Kenapa? Karena amalan itu ada di PPKn tetapi pemahaman terhadap nilai-nilainya ada di Sejarah. Benar juga ya kata orang, bahwa sejarah itu berguna untuk membangun bangsa. Mau jadi apa kita hari ini dan besok kalau tidak bisa belajar dari masa lalu.

Keragaman Budaya dalam Satu Persamuhan Pancasila

Serupa dengan keragaman yang dihadirkan oleh Anyer saat persamuhan nasional lalu, di Surabaya juga menghadirkan keragaman yang serupa. Sebagai wujud Pancasila, keragaman ini menjadi harmoni 5 dasar Pancasila. Pada hari pertama, semua peserta diminta untuk memakai pakaian adat masing-masing. Kali ini, aku siap dengan atasan kebaya modern dan bawahan kain batik. Bukan ciri khas Minang memang yang sarat dengan songketnya. Tapi, yang penting ciri ini adalah Indonesia.

Ada Cerita tentang Pancasila dan Keragaman di Surabaya 4

Dan, uniknya, sekumpulan blogger se-nasional yang hadir mewakili kotanya masing-masing juga mengenakan pakaian tradisional yang beragam. Ini tentu saja di luar komunitas guru yang juga memiliki semangat yang sama mengenakan pakaian adat masing-masing. Aku bahagia melihat hampir semua peserta sadar dengan kekayaan identitas bangsa. Aku melihat berbagai wastra Nusantara dikenakan. Ini sih parade kain tradisional ya. Senang sekali.

Semua peserta yang mengenakan pakaian tradisional ini dimobilisasi ke Pandaan, Pasuruan. Rupanya di sini aku bisa menikmati ragam kesenian daerah yang menggetarkan jiwa. Ada penampilan duo pemusik yang mahir memainkan sasando dan sape. Iya, dua alat musik berbeda negeri. Yang satu dari Nusa Tenggara Timur, yang satu dari Kalimantan Timur. Apa jadinya saat kedua alat musik itu dimainkan bersama? Aku sudah pernah bilang belum, ya, bahwa aku jatuh cinta dengan negeri timur Indonesia. Nah, itu dia. Sasando dan sape ini mengingatkanku pada rasa cinta itu.
Ada Cerita tentang Pancasila dan Keragaman di Surabaya 5

Ada Cerita tentang Pancasila dan Keragaman di Surabaya 6

Ada Cerita tentang Pancasila dan Keragaman di Surabaya 7

Ada Cerita tentang Pancasila dan Keragaman di Surabaya 8

Selanjutnya ada penampilan Tari Remo dari Surabaya, Tari Saman dari Aceh, dan Tari Anire dari Papua. Semua penampilan itu meriah. Wah, mulai terasa Nusantaranya. Mulai terasa pula nilai Pancasila-nya, bukan?

Renungan Nilai Pancasila dari Jawa Timur

Di sela-sela acara, aku menyempatkan diri mengunjungi beberapa tempat di Pandaan dan Surabaya. Tidak jauh dari lokasi suka ria ragam budaya yang ditampilkan dari berbagai daerah yang dibawa oleh guru kesenian, aku mengunjungi Masjid Cheng Ho. Aku melihat implementasi nilai-nilai Pancasila yang berwujud. Salah satunya ya Masjid Cheng Ho ini. Arsitektur yang mengambil unsur arsitektur Jawa dan Cina terlihat jelas di bangunan masjid ini. Unsur warna merah yang dominan terlihat mencolok. Di luar kabar tentang Laksamana Cheng Ho yang menjadi mualaf masih desas-desus, namanya diabadikan menjadi nama masjid ini sungguh berarti. Bagaimana pun juga Laksamana Cheng Ho adalah traveler asal Tiongkok yang mengarungi belahan dunia dengan kapalnya dan mampir ke Pulau Jawa. Namanya juga disebut-sebut sebagai tokoh yang berjasa dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa dan membentuk komunitas besar di luar Jawa. Karena itulah, namanya diabadikan sebagai nama masjid yang punya bentuk atap bertingkat mirip pagoda.

Aku suka dengan tatanan masjid yang punya pelataran luas di depannya. Berdirinya Masjid Cheng Ho di Pandaan ini membuktikan bahwa adanya akulturasi 2 kebudayaan. Tentu saja akulturasi itu menyeimbangkan tatanan hidup masyarakat di sekitarnya pula. Kalau bicara Pancasila, tatanan hidup yang harmonis seperti inilah yang dimaksud Pancasila. Tidak mengganggu, tidak menuding, tidak pula saling bertolak belakang.

Ada Cerita tentang Pancasila dan Keragaman di Surabaya 9

Pada lain hari, aku berjalan kaki di kawasan Putat Jaya, Surabaya. Aku diajak melihat-lihat produk-produk ekonomi kreatif yang tumbuh di sana setelah lokalisasi besar-besaran kawasan prostitusi Gang Dolly beberapa tahun lalu. Banyak sekali masyarakat yang terdampak dari lokalisasi itu. Karena itu, para penggiat kampung mulai bangkit membantu para warga sekitar untuk mengembangkan diri. Ada yang membuka garmen, pangkas rambut, toko kecil-kecilan, setra batik, membangun KUKM bersama. Salah satunya Dolly Saiki Point.

Aku juga berkunjung ke pesantren yang berada di jalur merah Gang Dolly. Rupanya pesantren ini berdiri di sebelah wisma-wisma pusat prostitusi pada masanya. Ya, namanya juga kehidupan. Yang positif dan negatif selalu tumbuh berdampingan. Masih ada wisma yang aktif rupanya meski tidak terbuka seperti dulu.

Yang bikin aku takjub adalah Gang Dolly dan kawasan Putat Jaya berproses menjadi sentra batik. Melihat bagaimana masa lalu di Gang Dolly, tentu tidak membuat kawasan ini serta merta redup. Kreativitas menjadi sumber kehidupannya. Butuh para penggiat yang bisa fokus membangun ekonomi kampung itu tumbuh kembali. Kepedulian ini yang menjadi nilai tambahnya. Kali ini tentu sumbernya bukan lagi dari prostitusi.

Ada Cerita tentang Pancasila dan Keragaman di Surabaya 10

Ada Cerita tentang Pancasila dan Keragaman di Surabaya 11

Aku jadi ingat Pak Sudjiwo Tedjo menjelaskan dengan sederhana makna Pancasila lebih lanjut. Di forum persamuhan, ia pernah bilang, "Puncak tertinggi Pancasila adalah tidak mengganggu orang lain." Nah, ini barangkali yang dimaksud dengan akulturasi dan hidup dengan ragam budaya. Mengunjungi Masjid Cheng Ho membuatku merenung bahwa arti Pancasila itu sangat luas. Untuk itu, nggak perlu muluk-muluk, cukup dengan prilaku tidak saling ganggu.

Begitu pula saat aku mengunjungi KUKM di Putat Jaya, aku menyadari bahwa masyarakat di sana sedang bangkit kembali, berkreasi, membangun kepercayaan diri dan image kampung itu dengan wajah baru. Belajar dari sejarah, bukan? Aku rasa nilai-nilai Pancasila itu sedang membumi.

Bu Risma sebagai Walikota Surabaya yang sempat hadir di persamuhan mengatakan bahwa menumbuhkan Pancasila itu sama dengan menumbuhkan rasa cinta kepada sesama. Beliau membuat area publik untuk dinikmati warga Surabaya karena ia mencintai warganya. Beliau memberikan apa yang warganya butuhkan. Taman bukan sekadar taman, tapi tempat rekreasi.

Ada Cerita tentang Pancasila dan Keragaman di Surabaya 12

Bahkan Bu Risma berpesan untuk mengajarkan generasi muda untuk mencintai tanah air. Jika anak mencinta negara, dia tidak akan menyakiti negaranya. Itulah prinsip Bu Risma, Pancasila itu tumbuh karena cinta.

Aku terbuai dengan lirik yang ditulis oleh Raden Kartono (Kakak RA Kartini) yang dinyanyikan oleh Sujiwo Tejo.

Sudih tanpo bondo
Digdoyo tanpo aji
Trimah mawi pasrah
Sepi pamrih tebih ajrih
Langgeng tanpo susah, tanpo seneng
Antheng mantheng
Sugeng jeneng

Ah, meski aku nggak pandai bahasa Jawa, tapi makna lirik ini dalam sekali. Ada nilai tentang keihklasan dari lirik itu. Itu juga pucuk Pancasila, bukan? Sederhana sekali tapi sulit untuk diamalkan. Karena itulah acara Persamuhan Pendidik Pancasila yang dihadiri ratusan guru menjadi sangat bermakna. Karena itu pula, aku banyak merenung tentang arti Pancasila yang multitafsir itu ketika pulang dari Surabaya.

Komentar

  1. Belakangan ini sering banget nemu postingan temen-temen tentang Pancasila.
    Bahkan aku sendiri sempat ikut event Pancasila yang diselenggarakan BPIP.
    Sepertinya BPIP emang lagi gencar-gencarnya menebarkan Ideologi Pancasila lewat sosial media, strategi yang dilakukan cukup baik sih karna informasi tentang nilai-nilai Pancasila bisa langsung sampai ke masyarakat terutama kaum millenials yang ga bisa lepas dari internet :v

    BalasHapus
  2. Pelajaran ini sebenernya membosankan sekali. Seperti doktrin. Dari kelas 1 SD sampai kelas 3 SMA, hanya sekali dapet nilai 7 pas kelas 2 SMA gara2 gurunya gak idealis cuma ngasih nilai random 7 dan 8 aja sesuai moodnya dia. Masa-masa paling suram dalam dalam sejarah pendidikan moral yang gw terima. Bukan karena gw immoral, tapi lebih karena gurunya yang kurang memahami perubahan zaman.

    Makanya, untuk sesuatu yang diajarkan hanya dengan menghafal, menurutku paham ini sudah 'ketinggalan zaman' cara menyebarkannya. Kurang inovasi untuk mengemasnya menjadi sesuatu yang mudah dipraktekkan sehingga terlihat kurang menarik.

    BalasHapus
  3. Beberapa wajah-wajah blogger ada yang tahu. Kalau nggak salah acara persamuhan ini ada juga blogger dari Aceh yaitu Bang Yudi Randa.

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular Posts