Berlayar ke Kampung Bugis Pulau Sebira Kepulauan Seribu

Kamu tau Pulau Sabira atau Sebira nggak? Tenang, kalau ada yang belum familiar dengan nama Sebira, sebelum menginjakkan kaki di pulau ini, aku juga nggak punya gambaran sama sekali tentang pulau ini, kok. Pulau Sebira itu adalah salah satu bagian pulau dari Kepulauan Seribu. Lokasinya paling utara dan merupakan pulau penjaga utara Jakarta. Dari sekian banyak pulau di Kepulauan Seribu yang familiar didatangi pengunjung itu masih berjarak dekat. Nah, Pulau Sebira ini jadi pulau yang paling jauh, ditempuh dengan naik perahu nelayan selama lebih kurang 9 jam dari Muara Angke atau Tanjung Priuk. Jauh, ya. Aku senang sekali suatu ketika berkesempatan main ke Pulau Sebira ini dan Pulau Kelapa Dua, yang merupakan sister island dari Pulau Sebira. Naik kapal 9 jam dong?

Tentu saja tidak. Aku berangkat dari Dermaga Marina, Ancol dan menaiki kapal cepat yang memang akan berangkat ke pulau terdepan Kepulauan Seribu itu. Perjalanannya lumayan bisa didiskon jadi 4 jam saja. Ternyata yang bikin perjalanan lama itu kondisi angin dan lautnya. Ada satu momen saat kapal kami terombang-ambing menerjang ombak yang besar-besar. Aku bersama Astari, partner travelingku ke Pulau Sebira waktu itu memilih tidur selama perjalanan, daripada harus mencemaskan kondisi lautan yang tidak menentu.

Berlayar ke Kampung Bugis Pulau Sebira
Berlayar ke Kampung Bugis Pulau Sebira (1)
Pantai cantik di Pulau Sebira.

Begitu memasuki perairan Pulau Sebira, aku terbangun. Kulihat air laut begitu jernih. Aku tak percaya ini masih perairan Provinsi DKI Jakarta. Takjub. Sungguh takjub. Langitnya cantik, air lautnya juga nggak kalah cantik.

Sebagian besar penduduk yang menempati Pulau Sebira adalah orang Bugis. Entah gimana caranya orang Bugis bisa sampai ke pulau ini. Tapi kalau mengingat nenek moyang kita yang pelaut, ya mungkin-mungkin saja zaman dulu kala orang Makassar dan Bugis berlayar ke sini dan menetap di Pulau Sebira. Aku berjalan-jalan keliling desa dan melihat rumah-rumah panggung orang Bugis. Mereka sudah turun-temurun menetap di pulau ini dan dialeknya pun masih sama. Mereka juga masih menggunakan tradisi pindah rumah dengan mengangkat rumahnya. Pernah pula ada acara pindah rumah antar pulau, dari Pulau Sebira ke Pulau Kelapa Dua. Jangan dibayangkan bagaimana cara menggotong rumahnya, aku pun nggak kebayang.

Berlayar ke Kampung Bugis Pulau Sebira (2)
Pesona Pulau Sebira Kep. Seribu.

Berlayar ke Kampung Bugis Pulau Sebira (3)
Mercusuar di Pulau Sebira.
Di pesisir utara Pulau Sebira, ada sebuah mercusuar peninggalan Belanda yang tinggi sekali. Mercusuar ini dibangun pada masa Z. M. Willem III tahun 1869. Sekilas mengingatkanku dengan mercusuar di Pulau Belitung. Mercusuar di Sebira adalah satu-satunya mercusuar di Kepulauan Seribu. Fungsinya sebagai penanda adanya daratan ke arah perairan Jakarta dan menjadi petunjuk pelayaran pada masa pemerintahan Belanda. Terasa sekali jejak-jejak Belanda di pulau ini. Satu hal yang membuatku makin takjub dengan Pulau Sebira adalah ada wifi di sekeliling pulau yang bisa diakses bebas, tanpa password. Waktu aku ke sana, aku kehilangan sinyal. Ternyata wifi di daratan Sebira cukup kuat untuk tetap aktif internetan. Wifi ini difasilitasi oleh Kominfo biar orang-orang Sebira tidak ketinggalan informasi. Keren, ya. 

Aku berkenalan dengan seorang gadis dari Pulau Sebira dan ternyata dia adalah anak dari Ibu RW di kampung itu. Namanya Fitri. Fitri mengajakku dan Tari berisitirahat di rumahnya yang memang sering jadi tempat persinggahan. Bu RW sangat ramah meski waktu itu sedang sakit. Tapi, entah kenapa terlihat sekali beliau orang yang cerdas dan disegani oleh orang-orang kampung. Ada beberapa ibu yang datang ke rumah untuk mengobrol dengan Bu RW. Rupanya mereka sedang berdiskusi tentang sebuah proyek KUKM yang dibangun oleh ibu-ibu di kampung itu.

Jelas saja aku penasaran. Fitri mengajakku mengunjungi sekelompok ibu yang memproduksi abon dari ikan selar di salah satu rumah dekat pantai. Abon ini berencana diproduksi dan dijual lebih luas. Fitri yang membantu pemasarannya dengan membuat packaging yang manis. Produknya dinamai Boni, Abon dari Kepulauan Seribu. Kebetulan saat itu dia baru lulus kuliah dan diminta ibunya untuk membantu memberdayakan perempuan di kampung Sebira. Dia juga jadi kepala koperasi yang sengaja dibuka untuk ibu-ibu di Pulau Sebira sekaligus Pulau Kelapa Dua. Ah, aku terharu melihat aktivitas ibu-ibu ini.

Berlayar ke Kampung Bugis Pulau Sebira (9)
Rumah-rumah panggung di Pulau Sebira.

Berlayar ke Kampung Bugis Pulau Sebira (4)
Menjemur ikan selar.

Berlayar ke Kampung Bugis Pulau Sebira (5)
Ibu-ibu mengolah ikan selar jadi abon ikan.

Berlayar ke Kampung Bugis Pulau Sebira (6)
Ibu-ibu Pulau Pramuka yang sedang mengolah bagan teri.
Dari produksi abon ikan, nggak jauh dari sana aku melihat ikan-ikan asin dijemur di tepi pantai. Katanya, ikan asin ini dijemur selama 2 hari di bawah terik matahari. Rupanya mereka memproduksi ikan selar asin, ikan khas dari perairan Pulau Sebira. Nama kemasannya Serumba, alias Ikan Selar Sebira. Di sisi lain kampung, aku melihat aktivitas ibu-ibu yang sedang membuat kerupuk ikan khas Sebira. Gemas mendengar nama merek kerupuk ini, Gimaku alias Gigit Makan Aku. Ya ampun, kreatif sekali.

Di Pulau Kelapa Dua, aku juga menemukan kelompok ibu-ibu bermarga Bugis dan Makassar senang berkumpul untuk memproduksi stik cumi dalam jumlah besar. Kebetulan Pulau Kelapa Dua jadi salah satu posko Taman Nasional Kepulauan Seribu.  Jadi memang penduduknya sudah sedikit melek dengan pengelolaan alam dan sumber daya manusianya. Untuk membangun kelompok usaha bersama di kalangan ibu-ibu juga nggak sulit. Persis seperti di Pulau Pramuka yang kondisinya lebih ramai. Ada sekelompok ibu-ibu yang mau meluangkan waktunya untuk mengolah bagan teri yang sedap. Jenis sambal produksi bersama ini bakal dipasarkan secara luas juga, lho.

Laut di perairan Pulau Kelapa Dua sama cantiknya dengan Pulau Sebira. Ada hutan bakau di sekeliling pulau yang menjaga pulau dari ombak besar. Aku mampir ke posko Taman Nasional Kepulauan Seribu yang menyediakan ruang dan penginapan untuk orang-orang yang ingin konservasi atau penelitian tentang Kep. Seribu di sana. Orang-orang kampungnya juga ramah. Aku disuguhi makanan dan camilan stik cumi buatan mereka. Budaya Bugis dan Makassar sangat kental terasa di sini. Meski orang-orang kampung di sana belum pernah ke Makassar, mereka masih menjunjung budayanya. Jadi, kalau kamu ingin melihat kehidupan orang Makassar dan Bugis, tinggal datang ke Pulau Kelapa Dua atau pun Sebira.

Melihat kegiatan aktif dari para ibu di Pulau Sebira dan Pulau Kelapa Dua, cukup membuatku sadar bahwa di titik terjauh dari Kepulauan Seribu, bukan termasuk pulau wisata, dan bukan pula kampung yang peduduknya banyak, tapi mereka mau belajar untuk membangun sistem perekonomian lewat usaha sendiri. Sekolah yang ada di kampung ini cuma 2 tingkat, SD dan SMP. Untuk lanjut SMA, anak-anak di kampung Sebira harus menyeberang ke Pulau Kelapa Dua, bahkan ada yang memilih sekolah di Kota Jakarta. Akses pendidikan di Pulau Sebira memang sangat terbatas, tetapi itu tidak mengurangi daya kreativitas dan produktivitas dari orang-orang kampung. Aktivitas yang dilakukan ibu-ibu di Pulau Sebira dan Pulau Kelapa Dua mengingatkanku pada program Pelatihan Literasi Keuangan untuk Perempuan dari Prudential Indonesia. Prudential menjangkau perempuan-perempuan di seluruh Indonesia untuk membantu mereka melek dengan pengaturan keuangan.

Berlayar ke Kampung Bugis Pulau Sebira (7)
Astari bersama ibu-ibu keturunan Bugis dan Makassar di Pulau Kelapa Dua.
Pelatihan Literasi Keuangan untuk Perempuan ini merupakan sebuah inisiatif untuk memberdayakan perempuan Indonesia agar mampu mengelola keuangan keluarga dan mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Pelatihan literasi keuangan ini menjadi bagian dari program unggulan Community Investment Prudential Indonesia di bidang edukasi. Aku menyukai program ini karena memang perlu dan butuh, apalagi Prudential mulai menjangkau para perempuan di bagian timur Indonesia. Program pelatihan literasi keuangan akan sangat membantu menumbuhkan kepercayaan diri dan kemandirian perempuan dari sisi ekonomi. Seperti yang kulihat di Pulau Sebira, ibu-ibunya tampak senang berkumpul dan mampu menghasilkan sesuatu dari hasil alam mereka. Ketika suaminya menangkap ikan di laut, para ibu mengolah ikan itu hingga menjadi kemasan yang dapat dijual. Dari sana, tentu tindak lanjutnya adalah bagaimana mengelola keuangan itu agar tidak bercampur dengan keuangan keluarga.

Rangkaian program pelatihan literasi keuangan dari Prudential tahun 2018 ini sudah dilakukan di Manado, Ambon, Sorong, Malang, dan Jakarta. Dari lima kota itu, lebih dari 2.500 perempuan dari berbagai kalangan dan latar belakang, berpartisipasi dalam rangkaian acara ini. Menurut Nini Sumohandoyo, Corporate Communications & Sharia Director Pudential Indonesia, komitmen Prudential Indonesia dalam meningkatkan literasi keuangan masyarakat ini memang menjadikan perempuan sebagai fokus utama. Perempuan memegang peranan penting dalam berbagai keputusan keuangan, baik dalam rumah tangga maupun dalam bisnis.

Pelatihan Literasi Keuangan Prudential
Acara Pelatihan Literasi Keuangan Prudential di Jakarta.

Pelatihan Literasi Keuangan Prudential (2)
Press Conference Program Literasi Keuangan Prudential.
Totalnya jangkauan program literasi keuangan yang dijalankan oleh Prudential sudah menjangkau lebih dari 27.000 perempuan di 24 kota di Indonesia. Pencapaian ini nggak lepas dari sinergi berbagai kemeterian yang saling mendukung: Kementerian Perdagangan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Para ibu yang terlibat dalam pelatihan ini tentu diajarkan oleh tim PRUvolunteers yang merupakan karyawan Prudential sendiri. PRUvolunteers inilah yang memberikan edukasi kepada peserta mengenai jenis lembaga keuangan--baik konvensional maupun syariah--dan berbagai instrumen keuangan sebagai solusi proaktif dalam merancang masa depan keuangan yang terencana dan minim risiko.

Kalau melihat target Prudential, mereka ingin melebarkan sayap untuk menjangkau 50.000 perempuan Indonesia hingga tahun 2022. Program yang positif ini bisa membantu mengurangi tingkat kriminalitas, kesenjangan sosial dan gender, dan mengecilkan angka perdagangan orang. Tentu nggak mudah menjangkau pelosok-pelosok semacam itu. Tapi aku optimis, kalau dibangun dengan aura positif, pasti kita bisa, kok. Melihat kegiatan ibu-ibu di Kampung Sebira dan Kelapa Dua yang masih di perairan Jakarta saja, aku bisa merasakan keoptimisan itu ada. Para perempuan butuh edukasi dan pembangkit semangat diri untuk aktif dan produktif. Mari kita dukung, yuk.

Berlayar ke Kampung Bugis Pulau Sebira (8)
Aku dan Astari lagi di Pulau Kelapa Dua.

Komentar

  1. Aku malah tertarik sama mercusuar Sebira-nya. Pernah ke pulau Nusakambangan cuma pengen motret mercusuarnya ahahahahha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku gak sempet naik ke puncak menaranya, karena kesorean.

      Hapus
  2. Setuju banget sama bagian, "Perempuan mengambil peranan penting dalam pengambilan keputusan keuangan.

    Dulu bokap pernah protes karena dapet "uang jajan" yg kecil dari nyokap. Lalu bokap minta agar dia yg atur keuangan keluarga. Di-iya-kan lah sama nyokap. Eh gak sampe 2 hari, dibalikin lagi sama bokap, katanya susah ngatur keuangan keluarga. Ahahaha

    BalasHapus
  3. Naik speed boat aja 4 jam ya :o. Tapi keliatannya bening bener pantainya tuh. #pengennyebur

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bening banget emang. Jauh dari polusi Jakarta soalnya. Ke sananya aja pake mabok dulu. Hahaha

      Hapus
  4. Ini beda dengan Pulau Bira ya? Mirip namanya, tapi sama2 di Kep Seribu. Masyaa Allah ibu2nya sangat bersemangat ya, itu yg bikin hidup jadi lebih hidup. Semoga terus berprogress, dan bs kesana next buat mampir

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin ide namanya dari Tanjung Bira di Sulawesi Selatan kali ya. :))

      Hapus
  5. Wah 4 jam! Aku belum pernah naik kapal selama itu. Ongkosnya berapa, kak?
    Kirain beneran di Sulawesi Selatan lho, karena nama "Sebira" mirip dengan "Tanjung Bira".

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau ongkosnya aku kurang tau kak. Soalnya ngikut rombongan.

      Hapus

Posting Komentar

Popular Posts